Petani itu hanya perlu tahu cara mengelola tanah lalu panen. Seperti itulah mindset yang sudah tercetak di benak para petani dari tahun ke tahun, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak heran jika anak petani pun sudah mempersiapkan diri untuk bekerja di ladang semenjak usia dini, karena begitulah siklus kehidupan mereka. Sementara itu, sekarang sudah masuk di era revolusi industri 4.0 yang juga berdampak di bidang agraris, maka pola pikir seperti itu harus mulai berubah atau tergerus zaman.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Seperti kutipan dari Raden Ajeng Kartini, “Pendidikan yang adil adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa dan peradaban manusia.” Hanya pendidikan yang bisa membawa petani berkembang dan mampu mengikuti arus modernisasi.
Akses pendidikan tidak hanya sekolah formal, tetapi juga bisa lewat buku. Sasaran bidang pendidikan juga bukan hanya untuk anak-anak dan pemuda, tetapi orang tua juga tetap terus mengikuti perkembangan dunia.
Sayangnya, data menunjukkan hal sebaliknya. Berdasarkan UNESCO, minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Jika data BPS yang mencatat jumlah penduduk Indonasi adalah 270 jiwa, artinya hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka dan aktif membaca buku.
Data tersebut didukung juga dari hasil riset Program of International Student Assessment (PISA), yang menyatakan negara Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara dalam hal minat membaca. Bahkan penulis dan Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, pernah menyatakan, “Masalah literasi di Indonesia adalah akses buku yang sulit dan distribusi buku yang tidak merata.”
Ada dua tantangan yang harus dihadapi, untuk membuat petani secara sukarela mau keluar dari zona nyaman. Tidak terpaku kepada rutinitas sebelumnya, yaitu petani hanya bertani. Tantangan pertama, bagaimana bisa belajar jika buku-bukunya masih terbatas? Tantangan kedua, bagaimana membuat mereka mau membaca buku, dengan tingkat minat membaca yang rendah?
Namun, semua rintangan tersebut berhasil dipatahkan oleh Jamaluddin. Pendiri Rumah Koran yang tidak hanya mampu menyebarkan virus literasi di daerah Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tetapi juga dari gemar membaca tersebut berhasil meningkatkan perekonomian warga setempat.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Tidak heran, alumni S1 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bosowa Makassar dan alumni Magister Manajemen SDM Universitas Muslim Indonesia itu, berhasil menjadi salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Awards (Astra) di tahun 2017.
Tentu bukan perjalanan mudah bagi Jamaluddin agar bisa mengubah masyarakat lokal yang saat itu mayoritas buta huruf, jadi mencintai kegiatan membaca. Ia tak kenal lelah dan terus membuat program kreatif agar perlahan-lahan pola pikir baru itu masuk ke alam bawah sadar penduduk setempat, kalau mereka bisa menjadi petani unggul karena memiliki wawasan yang luas dari membaca buku.
Siapa yang mengira jika semua bermula dari bangunan kayu yang luasnya hanya 4,5 meter. Uniknya, sebelumnya adalah kandang bebek milik orang tua Jamaluddin tapi sudah tidak terpakai lagi. Ia berhasil menyulap kandang hewan berkaki dua itu menjadi ruang terbuka dengan dinding koran-koran agar menarik perhatian anak-anak setempat. Rumah Koran pun resmi berdiri yang menjadi titik nol perjuangan literasi.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Ide mendirikan Rumah Koran sebenarnya sudah tercetus sejak tahun 2011, dengan nama Rumah Baca terlebih dahulu. Saat itu, Jamaluddin memetakan potensi di desanya adalah di bidang pertanian. Artinya, ada potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dari haril panen. Namun, kenyataan pahit di lapangan menyatakan dari sekitar 4 ribu lebih penduduk desa, ada lebih dari 1500 orang yang tidak tamat SD. Tentu saja, mereka tidak bisa membaca dan menulis.
Baru setelah menuntaskan S2-nya di tahun 2014, ia memutuskan pulang kampung untuk membangun desa. Ia pun mendirikan Rumah Koran yang diharapkan mampu menjadi ‘jembatan’ mengubah mindset masyarakat desa.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah, memunculkan motivasi dari masyarakat terlebih dahulu. Ia mengaku kalau tidak akan bisa langsung mengajak masyarakat membaca buku. Pasalnya, penduduk desa saat itu bahkan hampir tidak mau meski hanya membawa buku.
Ia tidak menyerah begitu saja dalam menumbuhkan semangat literasi. Akhirnya ia memilih mengambil koran yang tanggalnya sudah lewat dari salah satu kantor desa. Daripada hanya ditumpuk, lebih baik ia menempelkan koran-koran tersebut di dinding. Hal itu berhasil memantik rasa penasaran anak-anak yang lewat sehingga mereka pelan-pelan mau membaca.
Awalnya, ia memilih memajang koran dengan gambar yang menarik. Misalnya, berita tentang moto gp dengan foto motor-motor yang mampu memicu rasa penasaran anak-anak. Dari gambar itulah, mereka mulai tertarik membaca. Dari berita yang pendek, lalu muncul rasa ketertarikan membaca tulisan yang lebih panjang, kemudian baru muncul rasa suka dengan buku. Begitulah proses membangun minat baca masyarakat lokal. Bertahap dan konsisten akhirnya mampu membuahkan hasil.
Rumah Koran tidak hanya untuk kalangan anak-anak, tetapi juga untuk pemuda tani dan petani tua. Kegiatannya tidak hanya mengajak masyarakat membaca koran saja. Tapi ada juga buku-buku penunjang yang bisa dibaca kapan saja, hingga menjadi tempat berdiskusi dari hasil buku yang mereka baca.
Jamaluddin tak kehabisan akal untuk membuat anak-anak jatuh cinta dengan kegiatan membaca. Di hari Minggu, ia mengadakan sekolah alam. Bisa ke sungai, ke gunung, atau ke kebun. Ia tak lantas langsung mengajak anak-anak membaca buku ketika di tempat alam. Misalnya saat di sungai, ia mengajak anak-anak membersihkan sungai dahulu, baru kemudian membaca, dan selanjutnya berdiskusi. Kegiatan membaca di alam ini bisa memantik ide-ide dari anak-anak ketika berdikusi untuk membaca potensi alam di sekitar agar lebih maksimal.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Sementara untuk pemuda tani dan petani tua, bebas mendatangi ke Rumah Koran kapan saja. Umumnya, mereka memilih malam hari selepas bekerja. Tidak hanya membaca, mereka juga bisa saling berdiskusi untuk memajukan pertanian.
Dari gemar membaca itulah, mulai muncul motivasi dari benak masyarakat lokal. Dari berbagai bacaan, mereka mengetahui ada tokoh-tokoh inspiratif di luar desa. Para tokoh tersebut berhasil memberi inspirasi, sehingga melahirkan motivasi di benak mereka agar menjadi orang yang lebih sukses juga.
Akhirnya muncul motivasi menjadi petani yang unggul. Petani itu juga butuh dan harus sekolah. Petani itu juga butuh dan harus belajar. Petani itu juga butuh dan harus bisa membaca dan menulis. Petani harus suka membaca buku untuk mendapatkan informasi terbaru, agar mengetahui bagaimana dunia di luar sana dan mereka bisa bersinergi meski hanya dari desa.
Visi dan misi Rumah Koran yang ingin mengapus buta aksara pun mulai mencapai titik terang. Dari membaca, mereka akan mendapatkan banyak wawasan, sehingga mampu melahirkan ide-ide cemerlang yang akan memajukan sektor pertanian, hingga berdampak ke sisi ekonomi mereka.
Ketika menginjakkan kaki di desa Kanreapia, langsung diselimuti dengan udara sejuk karena terletak di kaki gunung Bawakaraeng. Masyarakatnya pun mampu hidup menyatu dengan alam, karena bisa memaksimalkan kekayaan hasil bumi dengan sayuran yang melimpah dan berkualitas. Setiap hari, puluhan ton sayuran didistrbusikan ke luar desa. Seperti kol, sawi, tomat, daun bawang, dan masih banyak lagi.
Selain bidang literasi, Rumah Koran juga memiliki program gerakan cerdas anak petani. Pasalnya, pertanian akan membutuhkan pemuda tani di tahun mendatang. Ia harus mencetak anak petani dan pemuda tani yang siap bersaing di dunia global.
Jamaludding melihat desanya memiliki potensi di bidang pertanian, dan pasarnya sangat besar. Ia pun mulai bekerja sama dengan banyak pihak agar produk-produk pertanian desa bisa terserap oleh berbagai daerah. Saat ini, distribusinya sudah mencapai luar kota, luar pulau, hingga ibukota. Mereka memiliki pengepul yang bisa menyortir kemudian menjual lagi. Secara tidak langsung, Rumah Koran ini sudah menguatkan produk lokal dan pasar tradisonal.
Dari literasi, petani bisa menemukan solusi terhadap masalah pertanian yang selama ini ada. Mereka memiliki strategi untuk membuat kuantitas dan kualitas hasil sayuran selalu maksimal.
Sebagai contoh, mereka harus bisa menjaga mata air, dengan alur pengairan yang dosis dan waktunya tepat, pipanisasi, embung, serta alat penyemprotan sehingga lebih hemat air dan tenaga. Tidak heran, jika hasil sayurannya selalu stabil meski di segala musim. Petani bisa panen meski di musim hujan maupun kemarau.
Selain itu, agar pertanian di desanya bisa berkelanjutan, mereka menggunakan pupuk organik. Tentu hal ini membuat pertaniannya bisa diwariskan dari zaman ke zaman.
Dari literasi, para pemuda tani mulai beradaptasi dengan perubahan teknologi. Yang pemasaran sebelumnya hanya offline, sekarang mulai merambah ke online. Bahkan mereka melirik pertanian sebagai bidang wirausahanya. Mereka bangga menjadi petani sekaligus wirausaha.
Meski tidak mudah, karena ada masanya harga turun, atau ada hasil petani yang tidak laku, tapi Jamaluddin terus mencari solusi dengan membuka lebih banyak pintu pasar. Salah satunya melakukan kolaborasi dengan banyak pihak dan membangun jaringan yang lebih besar lagi. Contohnya, membuat tempat wisata sehingga orang dari kota bisa datang ke desa sambil memetik sayurannya sendiri dan membeli sayuran secara langsung. Tidak jarang, para tamu tersebut membuat konten lalu menyebarkannya di media sosial. Alhasil, semakin banyak orang yang mengetahui dan ingin mengunjungi desa yang berjarak 2 jam dari kota Makasar ini.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Awalnya, pertaniannya bernama Kampung Sayur, kemudian berubah menjadi Kampung Berseri Astra. Bahkan sudah mendapatkan penghargaan sebagai Kampung Iklim Lestasi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Kampung Iklim Lestasi yang juga menjadi percontohan di bidang lingkungan hidup dan kehutauan.
Jamaluddin tidak pernah melupakan darah petani dari orang tuanya yang mengalir di tubuhnya. Pasalnya, profesi petani menjadi salah satu ujung tombak kehidupan. Jika tidak ada petani, maka tidak ada makanan. Ia adalah anak petani yang ingin kembali pertanian selepas merajut pendidikan di luar desa.
Dengan program gerakan cerdas anak petani gebrakannya, akhirnya masyarakat desa memahami pentingnya pendidikan formal agar proses kehidupan di masa depan bisa jauh lebih baik.
Dari Rumah Koran sebagai wadah literasi, lahirlah Kampung Sayur yang mampu mengeluarkan potensi alam sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Kampung Iklim Lestasi pun mampu memadukan kegiatan pendidikan, lingkungan, pertanian, menjadi satu kesatuan roda kehidupan yang terus berputar.
Jamaluddin berharap, Kanreapia bisa menjadi percontohan desa literasi, karena Kanreapia ada, dari desa untuk Indonesia.
Referensi:
https://www.youtube.com/@tvtanirumahkoran8950
https://balaibahasasumut.kemdikbud.go.id/2023/09/07/manca-untuk-literasi-yang-menyenangkan/
https://www.antaranews.com/berita/2686025/duta-baca-indonesia-paparkan-kendala-peningkatan-literasi-nasional
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/10/28/rumah-koran-upaya-jamaluddin-mencerdaskan-petani-selaras-dengan-amanat-konstitusi
Sumber: Instagram @rumah.koran
Seperti kutipan dari Raden Ajeng Kartini, “Pendidikan yang adil adalah investasi terbaik untuk masa depan bangsa dan peradaban manusia.” Hanya pendidikan yang bisa membawa petani berkembang dan mampu mengikuti arus modernisasi.
Akses pendidikan tidak hanya sekolah formal, tetapi juga bisa lewat buku. Sasaran bidang pendidikan juga bukan hanya untuk anak-anak dan pemuda, tetapi orang tua juga tetap terus mengikuti perkembangan dunia.
Sayangnya, data menunjukkan hal sebaliknya. Berdasarkan UNESCO, minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Jika data BPS yang mencatat jumlah penduduk Indonasi adalah 270 jiwa, artinya hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang suka dan aktif membaca buku.
Data tersebut didukung juga dari hasil riset Program of International Student Assessment (PISA), yang menyatakan negara Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 70 negara dalam hal minat membaca. Bahkan penulis dan Duta Baca Indonesia, Gol A Gong, pernah menyatakan, “Masalah literasi di Indonesia adalah akses buku yang sulit dan distribusi buku yang tidak merata.”
Ada dua tantangan yang harus dihadapi, untuk membuat petani secara sukarela mau keluar dari zona nyaman. Tidak terpaku kepada rutinitas sebelumnya, yaitu petani hanya bertani. Tantangan pertama, bagaimana bisa belajar jika buku-bukunya masih terbatas? Tantangan kedua, bagaimana membuat mereka mau membaca buku, dengan tingkat minat membaca yang rendah?
Namun, semua rintangan tersebut berhasil dipatahkan oleh Jamaluddin. Pendiri Rumah Koran yang tidak hanya mampu menyebarkan virus literasi di daerah Kanreapia, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, tetapi juga dari gemar membaca tersebut berhasil meningkatkan perekonomian warga setempat.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Tidak heran, alumni S1 Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Bosowa Makassar dan alumni Magister Manajemen SDM Universitas Muslim Indonesia itu, berhasil menjadi salah satu penerima apresiasi SATU Indonesia Awards (Astra) di tahun 2017.
Tentu bukan perjalanan mudah bagi Jamaluddin agar bisa mengubah masyarakat lokal yang saat itu mayoritas buta huruf, jadi mencintai kegiatan membaca. Ia tak kenal lelah dan terus membuat program kreatif agar perlahan-lahan pola pikir baru itu masuk ke alam bawah sadar penduduk setempat, kalau mereka bisa menjadi petani unggul karena memiliki wawasan yang luas dari membaca buku.
Kandang Bebek Menjadi Titik Awal Memantik Motivasi
Sumber: Instagram @rumah.koran
Ide mendirikan Rumah Koran sebenarnya sudah tercetus sejak tahun 2011, dengan nama Rumah Baca terlebih dahulu. Saat itu, Jamaluddin memetakan potensi di desanya adalah di bidang pertanian. Artinya, ada potensi ekonomi yang bisa dikembangkan dari haril panen. Namun, kenyataan pahit di lapangan menyatakan dari sekitar 4 ribu lebih penduduk desa, ada lebih dari 1500 orang yang tidak tamat SD. Tentu saja, mereka tidak bisa membaca dan menulis.
Baru setelah menuntaskan S2-nya di tahun 2014, ia memutuskan pulang kampung untuk membangun desa. Ia pun mendirikan Rumah Koran yang diharapkan mampu menjadi ‘jembatan’ mengubah mindset masyarakat desa.
Langkah pertama yang ia lakukan adalah, memunculkan motivasi dari masyarakat terlebih dahulu. Ia mengaku kalau tidak akan bisa langsung mengajak masyarakat membaca buku. Pasalnya, penduduk desa saat itu bahkan hampir tidak mau meski hanya membawa buku.
Ia tidak menyerah begitu saja dalam menumbuhkan semangat literasi. Akhirnya ia memilih mengambil koran yang tanggalnya sudah lewat dari salah satu kantor desa. Daripada hanya ditumpuk, lebih baik ia menempelkan koran-koran tersebut di dinding. Hal itu berhasil memantik rasa penasaran anak-anak yang lewat sehingga mereka pelan-pelan mau membaca.
Awalnya, ia memilih memajang koran dengan gambar yang menarik. Misalnya, berita tentang moto gp dengan foto motor-motor yang mampu memicu rasa penasaran anak-anak. Dari gambar itulah, mereka mulai tertarik membaca. Dari berita yang pendek, lalu muncul rasa ketertarikan membaca tulisan yang lebih panjang, kemudian baru muncul rasa suka dengan buku. Begitulah proses membangun minat baca masyarakat lokal. Bertahap dan konsisten akhirnya mampu membuahkan hasil.
Rumah Koran tidak hanya untuk kalangan anak-anak, tetapi juga untuk pemuda tani dan petani tua. Kegiatannya tidak hanya mengajak masyarakat membaca koran saja. Tapi ada juga buku-buku penunjang yang bisa dibaca kapan saja, hingga menjadi tempat berdiskusi dari hasil buku yang mereka baca.
Jamaluddin tak kehabisan akal untuk membuat anak-anak jatuh cinta dengan kegiatan membaca. Di hari Minggu, ia mengadakan sekolah alam. Bisa ke sungai, ke gunung, atau ke kebun. Ia tak lantas langsung mengajak anak-anak membaca buku ketika di tempat alam. Misalnya saat di sungai, ia mengajak anak-anak membersihkan sungai dahulu, baru kemudian membaca, dan selanjutnya berdiskusi. Kegiatan membaca di alam ini bisa memantik ide-ide dari anak-anak ketika berdikusi untuk membaca potensi alam di sekitar agar lebih maksimal.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Sementara untuk pemuda tani dan petani tua, bebas mendatangi ke Rumah Koran kapan saja. Umumnya, mereka memilih malam hari selepas bekerja. Tidak hanya membaca, mereka juga bisa saling berdiskusi untuk memajukan pertanian.
Dari gemar membaca itulah, mulai muncul motivasi dari benak masyarakat lokal. Dari berbagai bacaan, mereka mengetahui ada tokoh-tokoh inspiratif di luar desa. Para tokoh tersebut berhasil memberi inspirasi, sehingga melahirkan motivasi di benak mereka agar menjadi orang yang lebih sukses juga.
Akhirnya muncul motivasi menjadi petani yang unggul. Petani itu juga butuh dan harus sekolah. Petani itu juga butuh dan harus belajar. Petani itu juga butuh dan harus bisa membaca dan menulis. Petani harus suka membaca buku untuk mendapatkan informasi terbaru, agar mengetahui bagaimana dunia di luar sana dan mereka bisa bersinergi meski hanya dari desa.
Visi dan misi Rumah Koran yang ingin mengapus buta aksara pun mulai mencapai titik terang. Dari membaca, mereka akan mendapatkan banyak wawasan, sehingga mampu melahirkan ide-ide cemerlang yang akan memajukan sektor pertanian, hingga berdampak ke sisi ekonomi mereka.
Menyiapkan Tongkat Estafet Pertanian
Ketika menginjakkan kaki di desa Kanreapia, langsung diselimuti dengan udara sejuk karena terletak di kaki gunung Bawakaraeng. Masyarakatnya pun mampu hidup menyatu dengan alam, karena bisa memaksimalkan kekayaan hasil bumi dengan sayuran yang melimpah dan berkualitas. Setiap hari, puluhan ton sayuran didistrbusikan ke luar desa. Seperti kol, sawi, tomat, daun bawang, dan masih banyak lagi.
Selain bidang literasi, Rumah Koran juga memiliki program gerakan cerdas anak petani. Pasalnya, pertanian akan membutuhkan pemuda tani di tahun mendatang. Ia harus mencetak anak petani dan pemuda tani yang siap bersaing di dunia global.
Jamaludding melihat desanya memiliki potensi di bidang pertanian, dan pasarnya sangat besar. Ia pun mulai bekerja sama dengan banyak pihak agar produk-produk pertanian desa bisa terserap oleh berbagai daerah. Saat ini, distribusinya sudah mencapai luar kota, luar pulau, hingga ibukota. Mereka memiliki pengepul yang bisa menyortir kemudian menjual lagi. Secara tidak langsung, Rumah Koran ini sudah menguatkan produk lokal dan pasar tradisonal.
Dari literasi, petani bisa menemukan solusi terhadap masalah pertanian yang selama ini ada. Mereka memiliki strategi untuk membuat kuantitas dan kualitas hasil sayuran selalu maksimal.
Sebagai contoh, mereka harus bisa menjaga mata air, dengan alur pengairan yang dosis dan waktunya tepat, pipanisasi, embung, serta alat penyemprotan sehingga lebih hemat air dan tenaga. Tidak heran, jika hasil sayurannya selalu stabil meski di segala musim. Petani bisa panen meski di musim hujan maupun kemarau.
Selain itu, agar pertanian di desanya bisa berkelanjutan, mereka menggunakan pupuk organik. Tentu hal ini membuat pertaniannya bisa diwariskan dari zaman ke zaman.
Dari literasi, para pemuda tani mulai beradaptasi dengan perubahan teknologi. Yang pemasaran sebelumnya hanya offline, sekarang mulai merambah ke online. Bahkan mereka melirik pertanian sebagai bidang wirausahanya. Mereka bangga menjadi petani sekaligus wirausaha.
Meski tidak mudah, karena ada masanya harga turun, atau ada hasil petani yang tidak laku, tapi Jamaluddin terus mencari solusi dengan membuka lebih banyak pintu pasar. Salah satunya melakukan kolaborasi dengan banyak pihak dan membangun jaringan yang lebih besar lagi. Contohnya, membuat tempat wisata sehingga orang dari kota bisa datang ke desa sambil memetik sayurannya sendiri dan membeli sayuran secara langsung. Tidak jarang, para tamu tersebut membuat konten lalu menyebarkannya di media sosial. Alhasil, semakin banyak orang yang mengetahui dan ingin mengunjungi desa yang berjarak 2 jam dari kota Makasar ini.
Sumber: Instagram @rumah.koran
Awalnya, pertaniannya bernama Kampung Sayur, kemudian berubah menjadi Kampung Berseri Astra. Bahkan sudah mendapatkan penghargaan sebagai Kampung Iklim Lestasi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Kampung Iklim Lestasi yang juga menjadi percontohan di bidang lingkungan hidup dan kehutauan.
Anak Petani yang Kembali untuk Pertanian
Jamaluddin tidak pernah melupakan darah petani dari orang tuanya yang mengalir di tubuhnya. Pasalnya, profesi petani menjadi salah satu ujung tombak kehidupan. Jika tidak ada petani, maka tidak ada makanan. Ia adalah anak petani yang ingin kembali pertanian selepas merajut pendidikan di luar desa.
Dengan program gerakan cerdas anak petani gebrakannya, akhirnya masyarakat desa memahami pentingnya pendidikan formal agar proses kehidupan di masa depan bisa jauh lebih baik.
Dari Rumah Koran sebagai wadah literasi, lahirlah Kampung Sayur yang mampu mengeluarkan potensi alam sekaligus meningkatkan perekonomian masyarakat desa. Kampung Iklim Lestasi pun mampu memadukan kegiatan pendidikan, lingkungan, pertanian, menjadi satu kesatuan roda kehidupan yang terus berputar.
Jamaluddin berharap, Kanreapia bisa menjadi percontohan desa literasi, karena Kanreapia ada, dari desa untuk Indonesia.
Referensi:
https://www.youtube.com/@tvtanirumahkoran8950
https://balaibahasasumut.kemdikbud.go.id/2023/09/07/manca-untuk-literasi-yang-menyenangkan/
https://www.antaranews.com/berita/2686025/duta-baca-indonesia-paparkan-kendala-peningkatan-literasi-nasional
https://www.goodnewsfromindonesia.id/2023/10/28/rumah-koran-upaya-jamaluddin-mencerdaskan-petani-selaras-dengan-amanat-konstitusi
Comments
Post a Comment