Setelah sekitar 10 bulan berlalu, akhirnya aku baru berani menuliskan di dalam blog. Soalnya, kejadian tersebut adalah hal baru bagiku. Ternyata tanpa ada flek setetes pun, tetap bisa mengalami keguguran. Bisa juga, yang membaca ini juga belum pernah tahu.
Sebelumnya aku juga pernah menulis pengalaman mengalami pre-eklamsia ringan padahal baru hamil usia 5 bulan (ketika hamil anak pertama). Baca juga: Pre-eklamsia Saat Hamil
Saat itu, aku memang tidak pernah posting apa pun kalau tengah hamil anak kedua, dan yang tahu hanya keluarga, dan teman (itu pun karena kok aku nggak ikut zoom sekolah, ya pas itu aku “mabok hamil” parah).
Lalu, ketika satu per satu teman mulai tahu banyak yang bertanya, “Pendarahan ya?”
Jawabannya adalah, tidak sama sekali, bahkan setetes flek pun tidak ada. Apalagi ketika masuk ke rumah sakit untuk menjalani proses operasi kuret, tidak ada flek sama sekali. Flek baru muncul setelah aku mendapatkan obat di RS, agar janin yang masih menempel di rahim mau turun dan “si-v” mau membuka, yang semua proses itu rasanya dahsyaaattt.
“Kok bisa tahu kalau keguguran?”
Ketika kontrol 3 bulanan, atau usia 14 minggu. Setelah melalui 3 kali USG, dan alat USG terakhir yang lebih akurat (aku nggak tahu namanya, tapi kalau jantungnya masih berdenyut seharusnya ada warna biru atau merah gitu, aku lupa), dan ternyata tidak ada warna sama sekali.
Aku minta waktu 1 hari untuk di rumah, mengeluarkan tangisan berjam-jam, agar besoknya lebih kuat menghadapi operasi. Dokter pun memberi izin, karena tidak lama dan janin harus segera “dikeluarkan”. Terima kasih Suami dan Anak Lanang, sudah setia menemaniku yang menangis bergalon-galon. Jemari Anak Lanang yang mungil itu mengelusku tiada henti. Momen yang tidak akan pernah aku lupakan, karena itu sumber kekuatanku.
“Kamu kecapekan ya?”
Tidak, selama 3 bulanan hanya di dalam rumah karena mabok parah juga. Sepanjang hari mual, setiap hari pasti m*ntah, hanya pergi keluar rumah ketika kontrol ke dokter kandungan saja. Toh saat itu masih tinggi angka covid sehingga tidak berani ke mana-mana dulu. Kalau menurut dokter, kemungkinan besar karena pas hamil 1 bulan itu aku kena covid dan janin hanya kuat bertahan sampai 3 bulanan saja.
“Apa sudah ikhlas?”
Masih terus proses belajar. Masih ada rasa sesak di dada kalau mengingatnya, tapi sudah tidak sampai menangis lagi kok. Sometimes, i miss it. Foto USG terakhir pun masih tersimpan rapi di dalam lemari dan belum sanggup membukanya lagi. Meski begitu, masih jelas terekam bagaimana posisi kepalanya, kedua tangannya, dan kedua kakinya. Hanya ada foto USG usia 2 bulan, ketika denyut jantung masih ada, yang kusimpan di HP, yang masih sanggup kulihat lagi dan lagi.
Ketika googling, memang ada kemungkinan mengalami keguguran tanpa ada tanda-tanda sepertiku. Biasanya masuk trimester ke-2, karena janin sudah lebih kuat, tapi ada faktor lain yang membuat denyut jantung berhenti. Atau kalau di trimester ke-3 itu biasanya gerakan janin yang berkurang (dari yang aku baca ya).
Terima kasih "calon adiknya Anak Lanang", sudah pernah hadir di rahim Ibu. Semua rasa mual, m*ntah setiap hari, eneg nggak jelas, akan menjadi kenangan indah. I will always miss it.
Sebelumnya aku juga pernah menulis pengalaman mengalami pre-eklamsia ringan padahal baru hamil usia 5 bulan (ketika hamil anak pertama). Baca juga: Pre-eklamsia Saat Hamil
Gambar Anak Lanang ketika baru tahu akan punya adik. Dia memang terlihat sangat antusias. Di gambar ada Bapak, Ibu (di bagian perut ada gambar melingkar tanda ada calon adik di perut Ibu), dan Anak Lanang, serta tanda hati.
Saat itu, aku memang tidak pernah posting apa pun kalau tengah hamil anak kedua, dan yang tahu hanya keluarga, dan teman (itu pun karena kok aku nggak ikut zoom sekolah, ya pas itu aku “mabok hamil” parah).
Lalu, ketika satu per satu teman mulai tahu banyak yang bertanya, “Pendarahan ya?”
Jawabannya adalah, tidak sama sekali, bahkan setetes flek pun tidak ada. Apalagi ketika masuk ke rumah sakit untuk menjalani proses operasi kuret, tidak ada flek sama sekali. Flek baru muncul setelah aku mendapatkan obat di RS, agar janin yang masih menempel di rahim mau turun dan “si-v” mau membuka, yang semua proses itu rasanya dahsyaaattt.
“Kok bisa tahu kalau keguguran?”
Ketika kontrol 3 bulanan, atau usia 14 minggu. Setelah melalui 3 kali USG, dan alat USG terakhir yang lebih akurat (aku nggak tahu namanya, tapi kalau jantungnya masih berdenyut seharusnya ada warna biru atau merah gitu, aku lupa), dan ternyata tidak ada warna sama sekali.
Aku minta waktu 1 hari untuk di rumah, mengeluarkan tangisan berjam-jam, agar besoknya lebih kuat menghadapi operasi. Dokter pun memberi izin, karena tidak lama dan janin harus segera “dikeluarkan”. Terima kasih Suami dan Anak Lanang, sudah setia menemaniku yang menangis bergalon-galon. Jemari Anak Lanang yang mungil itu mengelusku tiada henti. Momen yang tidak akan pernah aku lupakan, karena itu sumber kekuatanku.
“Kamu kecapekan ya?”
Tidak, selama 3 bulanan hanya di dalam rumah karena mabok parah juga. Sepanjang hari mual, setiap hari pasti m*ntah, hanya pergi keluar rumah ketika kontrol ke dokter kandungan saja. Toh saat itu masih tinggi angka covid sehingga tidak berani ke mana-mana dulu. Kalau menurut dokter, kemungkinan besar karena pas hamil 1 bulan itu aku kena covid dan janin hanya kuat bertahan sampai 3 bulanan saja.
“Apa sudah ikhlas?”
Masih terus proses belajar. Masih ada rasa sesak di dada kalau mengingatnya, tapi sudah tidak sampai menangis lagi kok. Sometimes, i miss it. Foto USG terakhir pun masih tersimpan rapi di dalam lemari dan belum sanggup membukanya lagi. Meski begitu, masih jelas terekam bagaimana posisi kepalanya, kedua tangannya, dan kedua kakinya. Hanya ada foto USG usia 2 bulan, ketika denyut jantung masih ada, yang kusimpan di HP, yang masih sanggup kulihat lagi dan lagi.
Ketika googling, memang ada kemungkinan mengalami keguguran tanpa ada tanda-tanda sepertiku. Biasanya masuk trimester ke-2, karena janin sudah lebih kuat, tapi ada faktor lain yang membuat denyut jantung berhenti. Atau kalau di trimester ke-3 itu biasanya gerakan janin yang berkurang (dari yang aku baca ya).
Terima kasih "calon adiknya Anak Lanang", sudah pernah hadir di rahim Ibu. Semua rasa mual, m*ntah setiap hari, eneg nggak jelas, akan menjadi kenangan indah. I will always miss it.
Semangattt buat mbak Wury..
ReplyDeleteI feel you mbak,, saya hamil pertama juga kena preklampsia berat dan 7bulan bayi harus dikeluarkan. Hamil kedua juga riwayat preklampsia masih menghantui..
Yang tabah mbak Wury,, in sya allah dedek jadi penolong bundanya saat di padang mahsyar nantinya..
Aamiin, terima kasih Mbak Lisa. Doa baik yang sama untuk Mbak Lisa *peluuukkk
ReplyDeletetetap semangat ya kak
ReplyDelete