Apa yang ada di benak Anda ketika mendengar profesi reporter? Tentu orang yang bertugas mewawancarai narasumber, menyampaikan informasi lewat media, hingga selalu bekerja di lapangan. Iya, menjadi reporter identik dengan pekerjaan yang jam kerjanya tidak pasti, yang lebih banyak di luar ruangan. Waktu dulu, tidak pernah terbayang kalau profesi reporter juga bisa dikerjakan di dalam rumah karena hadirnya internet membuat "Aktivitas Tanpa Batas".
Sekitar 15 tahun yang lalu, saya bekerja sebagai reporter di salah satu rumah produksi di Jakarta. Menjadi reporter adalah impian saya sejak duduk di bangku SD. Saat itu, saya sangat senang bisa mewujudkannya. Meski akhirnya sekarang saya sudah melepaskan kartu wartawan. Iya, saya sekarang menjadi ibu rumah tangga (IRT) tapi nyatanya impian sebagai reporter tidak tenggelam begitu saja.
Ketika saya menjadi reporter sekitar tahun 2005 sampai 2010 yang lalu, memang pengguna internet belum sebanyak saat ini. Saya masih harus mendatangi rumah narasumber karena tidak ada kontaknya, bahkan banyak narasumber belum memiliki akun media sosial. Saya melakukan riset narasumber juga melalui media cetak sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama.
Foto: tim reporter harus ke lapangan dan membawa peralatan yang besar.
Setelah 5 tahun menjadi reporter, saya harus melepaskan profesi tersebut karena mengikuti suami tinggal di luar kota. Pada awalnya, melepaskan pekerjaan reporter memang terasa berat karena saya mencintai dunia jurnalistik sejak kecil. Beruntung ketika saya menjadi ibu rumah tangga (IRT), pengguna dan koneksi internet semakin banyak. Ternyata, meski menjadi IRT yang banyak di dalam rumah, saya tetap bisa berkarya. Mungkin saya tidak menjadi reporter seperti dahulu. Tetapi saya bisa menulis dan menerbitkan buku mengenai kehidupan reporter, hingga sering berbagi tips reporter di blog ini.
Foto: buku saya mengenai kehidupan reporter yang saya tulis sejak menjadi IRT.
Benar, saya memang konsisten berbagi tips reporter di blog ini semenjak menjadi IRT. Tidak disangka, ada pihak yang membaca blog saya, dan mengetahui saya menerbitkan buku tentang reporter, sehingga mengetahui saya adalah mantan reporter.
Hadirnya internet membuat saya semakin mudah bekerja sebagai reporter.
Jujur saja, saya tidak pernah menyangka kalau akhirnya tetap bisa menjadi reporter. Meski saya sudah menjadi ibu rumah tangga, meski saya tidak bisa sering ke luar rumah, semua berkat hadirnya internet yang membuat ibu rumah tangga tetap bisa melakukan "Aktivitas Tanpa Batas". Bisa membuat ibu rumah tangga seperti saya ini tetap menjadi reporter. Impian saya sejak kecil.
Ketika menjadi reporter di rumah produksi, maka kantor harus menyiapkan telepon, komputer untuk membuat naskah, kamera, clip on, dan alat-alat lainnya. Berbeda ketika saya menjadi reporter media online, maka semua alatnya pun harus saya persiapkan sendiri. Apa saja itu?
Sebenarnya sangat terjangkau karena:
275 ribu dibagi 30 hari (1 bulan) = 9.167 saja kok per harinya.
Buat para IRT yang memiliki mimpi menjadi reporter, ternyata tetap bisa mewujudkan hal tersebut. Tidak harus bekerja di media online kok. Bisa juga melakukan wawancara dengan narasumber lalu memasukkan profilnya di blog pribadi. Semua hal tersebut juga bisa dilakukan dari dalam rumah saja, karena ada internet.
Saya merasa terbantu dengan hadirnya internet. Ibu rumah tangga yang dulunya di rumah hanya mengurus rumah dan keluarga, sekarang dengan hadirnya internet bisa membuat IRT mewujudkan impiannya. Seperti saya yang tetap bisa melakukan impian menjadi “reporter” meski dari dalam rumah saja karena semuanya mengandalkan "IndiHome Mbois" sebagai “Internetnya Indonesia”.
Sekitar 15 tahun yang lalu, saya bekerja sebagai reporter di salah satu rumah produksi di Jakarta. Menjadi reporter adalah impian saya sejak duduk di bangku SD. Saat itu, saya sangat senang bisa mewujudkannya. Meski akhirnya sekarang saya sudah melepaskan kartu wartawan. Iya, saya sekarang menjadi ibu rumah tangga (IRT) tapi nyatanya impian sebagai reporter tidak tenggelam begitu saja.
Ketika saya menjadi reporter sekitar tahun 2005 sampai 2010 yang lalu, memang pengguna internet belum sebanyak saat ini. Saya masih harus mendatangi rumah narasumber karena tidak ada kontaknya, bahkan banyak narasumber belum memiliki akun media sosial. Saya melakukan riset narasumber juga melalui media cetak sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama.
Foto: tim reporter harus ke lapangan dan membawa peralatan yang besar.
Setelah 5 tahun menjadi reporter, saya harus melepaskan profesi tersebut karena mengikuti suami tinggal di luar kota. Pada awalnya, melepaskan pekerjaan reporter memang terasa berat karena saya mencintai dunia jurnalistik sejak kecil. Beruntung ketika saya menjadi ibu rumah tangga (IRT), pengguna dan koneksi internet semakin banyak. Ternyata, meski menjadi IRT yang banyak di dalam rumah, saya tetap bisa berkarya. Mungkin saya tidak menjadi reporter seperti dahulu. Tetapi saya bisa menulis dan menerbitkan buku mengenai kehidupan reporter, hingga sering berbagi tips reporter di blog ini.
Foto: buku saya mengenai kehidupan reporter yang saya tulis sejak menjadi IRT.
Benar, saya memang konsisten berbagi tips reporter di blog ini semenjak menjadi IRT. Tidak disangka, ada pihak yang membaca blog saya, dan mengetahui saya menerbitkan buku tentang reporter, sehingga mengetahui saya adalah mantan reporter.
Kemudian saya direkrut sebagai reporter untuk media online perusahaan tersebut. Menjadi reporter media online perusahaan kali ini, saya bisa mengerjakan dari rumah karena semuanya serba online. Dari mulai wawancara narasumber dari kalangan pebisnis perempuan, menulis profil mereka, hingga menerbitkan profil mereka di media online.
Lalu, apa saja perbedaan ketika menjadi reporter yang dulu dan sekarang?
1. Bisa mendapatkan informasi narasumber hanya lewat internet
Ketika menjadi reporter dahulu, hanya bisa menemukan narasumber yang pernah muncul di berita saja. Tapi kali ini dengan adanya internet membuat data nama-nama calon narasumber itu melimpah. Misalnya, saya mengetik kata kunci “pebisnis perempuan” maka muncul ribuan artikel yang sangat membantu pekerjaan saya.2. Bisa mencari kontak narasumber hanya lewat internet
Ketika menjadi reporter dahulu, kantor saya memiliki beberapa buku tebal yang isinya nama dan kontak narasumber. Bayangkan betapa lamanya ketika mencari kontak seorang narasumber. Namun, ketika menjadi reporter media online justru cepat mendapatkan kontak narasumber. Saya bisa mencari kontak lewat gooling, atau mengirimkan DM ke akun media sosialnya.3. Bisa melakukan wawancara dari rumah hanya lewat internet
Ketika menjadi reporter dahulu, saya harus membuat janji terlebih dahulu baru mendatangi langsung narsumber tersebut. Namun ketika menjadi reporter media online, saya bisa melakukan wawancara hanya dari dalam rumah saja. Pasalnya, wawancara lewat Whatsapp sudah lazim dilakukan. Baik itu lewat chat, atau voice call, atau video call.4. Bisa mendapatkan foto atau video narasumber hanya lewat internet
Ketika menjadi reporter dahulu, saya harus meminta foto-foto narasumber. Saya harus membawa kamera untuk memoto foto narasumber, atau saya meminjam foto tersebut (tentu harus ada kuitansi pinjam foto). Berbeda dengan menjadi reporter media online, saya bisa mendapatkan foto atau video dari akun media sosial narasumber.5. Tidak harus bertemu dengan narasumber dan hanya lewat internet sehingga cocok di masa pandemi sekarang ini
Kondisi liputan yang dilakukan secara online sangat cocok di masa pandemi sekarang ini, sehingga tidak harus bertatap muka. Justru saya hampir tidak pernah wawancara offline dengan narasumber.Hadirnya internet membuat saya semakin mudah bekerja sebagai reporter.
Namun, tentu profesi apapun memiliki tantangan tersendiri.
Yang saya rasakan seperti:
1. Ada narasumber yang kurang nyaman diwawancarai lewat internet
Ternyata, tidak semua orang nyaman diwawancarai lewat chat WA. Ada juga yang berharap ingin bertemu dan mengobrol langsung. Hal tersebut bisa saja terjadi jika narasumber tinggal di kota yang sama dengan saya. Tapi jika narasumber berada di luar kota, ada juga yang tidak bersedia diwawancarai. Ya tidak apa-apa, itu hak semua narasumber.2. Bertemu narasumber yang PHP alias cuma read chat WA
Ya, lagi-lagi itu adalah hak semua narasumber kok. Saya pernah bertemu dengan narasumber yang tidak mau mengangkat telepon dari saya, dan ketika saya chat WA juga hanya centang biru tanpa dibalas. Makanya, jadi reporter jangan baperan.3. Tidak setor foto atau video
Biasanya, ada beberapa narasumber yang ketika wawancara itu mudah banget, tapi ketika saya meminta foto atau video pendukung justru seolah ditelan bumi, hehehe. Anggap saja narasumber tersebut tengah sibuk. Kalau sudah seperti ini dan jadwalnya posting maka saya mengambil foto di akun media sosialnya.4. Menjawab dengan kata-kata yang pendek
Ini yang sangat menantang bagi saya, karena saya harus bisa mengembangkan jawaban pendeknya. Misalnya, saya bertanya bagaimana awal cerita berbisnis, tapi ada narasumber yang hanya menjawab, “Suka jualan sejak SD.” Sudah, gitu saja jawabannya. Akhirnya, saya juga harus lebih banyak riset untuk menambahkan data-data.5. Tidak bisa langsung mengembangkan pertanyaan karena tidak bertemu langsung
Kalau wawancara tatap muka kan narasumber menjawab apa, lalu reporter bisa bertanya lagi. Beda ketika lewat chat WA maka usahakan sekali mengirim daftar pertanyaan yang jawabannya cukup untuk isi naskah nantinya. Biasanya, sebelum mengirimkan daftar pertanyaan, saya membuat outline naskahnya dulu.Jujur saja, saya tidak pernah menyangka kalau akhirnya tetap bisa menjadi reporter. Meski saya sudah menjadi ibu rumah tangga, meski saya tidak bisa sering ke luar rumah, semua berkat hadirnya internet yang membuat ibu rumah tangga tetap bisa melakukan "Aktivitas Tanpa Batas". Bisa membuat ibu rumah tangga seperti saya ini tetap menjadi reporter. Impian saya sejak kecil.
Ketika menjadi reporter di rumah produksi, maka kantor harus menyiapkan telepon, komputer untuk membuat naskah, kamera, clip on, dan alat-alat lainnya. Berbeda ketika saya menjadi reporter media online, maka semua alatnya pun harus saya persiapkan sendiri. Apa saja itu?
1. Netbook
Kalau saya sih pakai netbook karena kecil. Bisa juga pakai komputer, atau laptop, atau tablet. Bahkan bisa juga pakai ponsel saja meski proses menulisnya butuh tenaga lebih karena ukurannya lebih kecil. Untuk memilih netbook, bisa yang spesifikasi sederhana, asal bisa menggunakan ms word dan browser saja kok.2. Ponsel
Ini yang sangat penting karena saya menghubungi narasumber melalui Whatsapp. Entah itu saya menghubungi mereka lewat telepon atau chat. Saya juga akan menggunakan ponsel untuk mengakses media sosial narasumber, karena mungkin membutuhkan fotonya. Sesekali membuat outline naskah juga di ponsel karena bisa sambil menemani anak bermain.3. Internet dari IndiHome
Ini adalah pasangan ponsel yang penting untuk reporter media online, karena sangat mengandalkan internet ketika bekerja. Bahkan, saya nggak mau asal-asalan untuk memiliki provider internet, lho. Ibaratanya, internet adalah “senjata” yang paling penting selama saya bekerja maka cari yang “Internetnya Indonesia”.Menurut saya, memilih provider internet harus mempertimbangkan beberapa hal ini:
1. Jaringannya harus stabil
Ini sangat penting karena saya juga membutuhkan jaringan internet yang stabil selama proses wawancara. Pasti akan terasa nggak nyaman ketika tengah asyik wawancara lewat call WA atau video call WA tapi terputus-putus sehingga membuat narasumber harus mengulangi jawabannya lagi. Maka, pastikan koneksinya cenderung stabil ya. Menurut saya, IndiHome memiliki jaringan yang stabil.2. Saya pilih unlimited dengan kecepatan yang tepat
Kenapa harus unlimited? Karena jangan sampai ketika asyik melakukan wawancara ternyata terputus karena kuota habis. Maka, saya memilih yang unlimited lalu melihat kecepatannya yang berapa. Selama ini, saya memilih yang kecepatan 20Mbps sudah cukup dan tidak pernah terganggu kok. Ah, ini namanya "IndiHome Mbois" nih.3. Biaya terjangkau
Ini juga harus saya pertimbangkan karena penghasilan harus bisa menutupi biaya koneksi internet. Saya pilih IndiHome yang paketnya paling murah, yaitu yang kecepatannya 20Mbps itu sekitar 275 ribu per bulan.Sebenarnya sangat terjangkau karena:
275 ribu dibagi 30 hari (1 bulan) = 9.167 saja kok per harinya.
4. Review positif
Sebelum saya memutuskan menggunakan IndiHome, saya harus survei dengan bertanya kepada tetangga, teman, serta googling. Mayoritas sih banyak yang puas dengan IndiHome sehingga saya memilih menggunakannya.Buat para IRT yang memiliki mimpi menjadi reporter, ternyata tetap bisa mewujudkan hal tersebut. Tidak harus bekerja di media online kok. Bisa juga melakukan wawancara dengan narasumber lalu memasukkan profilnya di blog pribadi. Semua hal tersebut juga bisa dilakukan dari dalam rumah saja, karena ada internet.
Saya merasa terbantu dengan hadirnya internet. Ibu rumah tangga yang dulunya di rumah hanya mengurus rumah dan keluarga, sekarang dengan hadirnya internet bisa membuat IRT mewujudkan impiannya. Seperti saya yang tetap bisa melakukan impian menjadi “reporter” meski dari dalam rumah saja karena semuanya mengandalkan "IndiHome Mbois" sebagai “Internetnya Indonesia”.
Seru juga ya jadi reporter dari rumah
ReplyDelete