Kalau di Seri Belajar Menjadi Reporter sebelumnya, aku selalu curhat, eh, cerita dukanya. Nanti bikin calon reporter batal kirim surat lamaran ke media, deh *didemo pemilik media, huhuhu. Jadi, biar imbang, ya aku cerita sukanya jadi reporter. Tentu selain mendapatkan gaji dari kantor, ya, huehehehe.
Baca: Seri Belajar Menjadi Reporter 1-5
Satu, jalan-jalan gratis.
Ini pas aku menjadi reporter media audio visual aja, ya. Kalau sekarang kan jadi reporter media online, ya nggak pernah mengalami ini lagi. Meski, tugas liputanku masih di dalam negeri aja sih. Dulu, paling timur pernah ke Sumatera Utara sedangkan paling timur pernah ke Maluku. Alhamdulillah. Sekarang masih bisa jalan-jalan gratis, tapi minta ke suami, ups.
Dua, tahu lebih dulu.
Maklum, dulu pas aku jadi reporter audio visual itu belum ada live IG atau live FB. Jadi, pas liputan ya reporter itu bisa menjadi pihak yang pertama tahu, sebelum masyarakat tahu. Misalnya, aku dulu liputan sebuah acara. Tentu saja, masyarakat tahunya pas hasil liputannya tayang di tivi, ya. Kecuali, kamu yang punya darah-mama-loreng mungkin tahu dulu, ya, hihihi.
Tiga, jam kerja nggak monoton.
Menurutku, ini bisa suka atau dukanya bekerja sebagai reporter. Enaknya, nggak kayak karyawan lain yang harus datang jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore. Kadang, (waktu masih gadis dan jadi reporter audio visual), aku bisa berangkat kerja jam 12 siang, sesekali juga pulang tengah malam bareng kelelawar berkelairan *atuuut.
Empat, belajar hal baru.
Sebelum menulis naskah, reporter paling tidak tahu apa yang akan ditulis dan disampaikan kepada pemirsa. Pernah juga, aku wawancara orang yang bikin pusing pas bikin naskah. Misalnya, wawancara orang IT yang pakai bahasa IT, ya nama kutahu, ya? yang kutahu hanyalah bahasa cinta, taelaaah.
Lima, tahu hal baru.
Jadi reporter itu bikin aku belajar dan jadi tahu, meski sedikit, mengenai hal baru. Misalnya, aku sekarang sering wawancara emak pebisnis, jadi tahulah apa yang sudah mereka lakukan biar bisa mengembangkan bisnisnya. Meski, aku belum nemu narasumber yang tahu cara menghentikan perkembangan perut yang masih buncit ini, huhuhu.
Enam, punya banyak teman.
Ini jelas! Daftar kontakku selalu bertambah dari waktu ke waktu. Dari mulai kontak artis hingga pejabat (dulu sih pernah wawancara). Kalau sekarang banyakan kontak pebisnis dan penulis. Apalagi pebisnis yang jualan pakaian, mainan anak, buku *duh status WA mereka seputar produk yang dijual sungguh menggoda iman ini.
Tujuh, ketemu jodoh, eh.
Aku memang ketemu Bapaknya Anak Lanang pas masih kerja sebagai reporter audio visual. Aku reporter dan dia narasumber (meski profesinya juga reporter). Nggak tahunya, 4 tahun kemudian berjodoh, hihihi.
Ibaratnya gini, reporter itu harusnya nggak hanya bisa mancing lewat narasumber mau bercerita banyak pas wawancara, tapi harus bisa memancing narasumber mengajak nikah, taelaaah....
Baca: Seri Belajar Menjadi Reporter 1-5
Satu, jalan-jalan gratis.
Ini pas aku menjadi reporter media audio visual aja, ya. Kalau sekarang kan jadi reporter media online, ya nggak pernah mengalami ini lagi. Meski, tugas liputanku masih di dalam negeri aja sih. Dulu, paling timur pernah ke Sumatera Utara sedangkan paling timur pernah ke Maluku. Alhamdulillah. Sekarang masih bisa jalan-jalan gratis, tapi minta ke suami, ups.
Dua, tahu lebih dulu.
Maklum, dulu pas aku jadi reporter audio visual itu belum ada live IG atau live FB. Jadi, pas liputan ya reporter itu bisa menjadi pihak yang pertama tahu, sebelum masyarakat tahu. Misalnya, aku dulu liputan sebuah acara. Tentu saja, masyarakat tahunya pas hasil liputannya tayang di tivi, ya. Kecuali, kamu yang punya darah-mama-loreng mungkin tahu dulu, ya, hihihi.
Tiga, jam kerja nggak monoton.
Menurutku, ini bisa suka atau dukanya bekerja sebagai reporter. Enaknya, nggak kayak karyawan lain yang harus datang jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore. Kadang, (waktu masih gadis dan jadi reporter audio visual), aku bisa berangkat kerja jam 12 siang, sesekali juga pulang tengah malam bareng kelelawar berkelairan *atuuut.
Empat, belajar hal baru.
Sebelum menulis naskah, reporter paling tidak tahu apa yang akan ditulis dan disampaikan kepada pemirsa. Pernah juga, aku wawancara orang yang bikin pusing pas bikin naskah. Misalnya, wawancara orang IT yang pakai bahasa IT, ya nama kutahu, ya? yang kutahu hanyalah bahasa cinta, taelaaah.
Lima, tahu hal baru.
Jadi reporter itu bikin aku belajar dan jadi tahu, meski sedikit, mengenai hal baru. Misalnya, aku sekarang sering wawancara emak pebisnis, jadi tahulah apa yang sudah mereka lakukan biar bisa mengembangkan bisnisnya. Meski, aku belum nemu narasumber yang tahu cara menghentikan perkembangan perut yang masih buncit ini, huhuhu.
Enam, punya banyak teman.
Ini jelas! Daftar kontakku selalu bertambah dari waktu ke waktu. Dari mulai kontak artis hingga pejabat (dulu sih pernah wawancara). Kalau sekarang banyakan kontak pebisnis dan penulis. Apalagi pebisnis yang jualan pakaian, mainan anak, buku *duh status WA mereka seputar produk yang dijual sungguh menggoda iman ini.
Tujuh, ketemu jodoh, eh.
Aku memang ketemu Bapaknya Anak Lanang pas masih kerja sebagai reporter audio visual. Aku reporter dan dia narasumber (meski profesinya juga reporter). Nggak tahunya, 4 tahun kemudian berjodoh, hihihi.
Ibaratnya gini, reporter itu harusnya nggak hanya bisa mancing lewat narasumber mau bercerita banyak pas wawancara, tapi harus bisa memancing narasumber mengajak nikah, taelaaah....