Tahu dong kalau setiap profesi pasti ada suka dukanya, termasuk jadi reporter. Kehidupan seorang reporter itu enggak melulu bawa mic, narik kameraman, atau ngarep ditaksir narasumber artis ganteng, eh. Nah, postingan ini khusus kasih tips menjadi reporter soal sisi kelam sosok reporter. Pasti pada kepo, kan?
Reporter harus siap-siap cuma bisa negak ludah sepanjang liputan. Ada lho, narasumber yang peliiittt, sampai setetes air putih pun tidak mau dikeluarkan. Solusinya ya reporter harus jago pasang wajah dehidrasi berat. Kalau perlu, latihan akting di teater kampung sebelah dulu.
Reporter juga bersiap menunggu kedatangan narasumber sampai karatan. Jangan heran ya kalau kamu pernah ketemu reporter yang ada sarang laba-labanya di bodinya, saking lamanya menunggu narasumber, tuh. Habis gimana, bapak produser selalu berpesan, “Pantang pulang sebelum narasumber berbicara.” Lha kalau narasumbernya kayak L*mbad gimana? *buka kamus bahasa tubuh.
Reporter harus sabar menghadapi Si-No-Comment. Coba bayangkan, sudah lama menunggu, eh, giliran narasumbernya datang, malah menolak diwawancarai. Rasanya itu, sudah keluarin modal beliin tas branded, kasih sepatu limited edition, sampai rajin kirim bonekachuky setiap hari, tapi ujungnya ditolak! Biasanya sih reporter disuruh terus berusaha pedekate, kalau ujung-ujungnya tetap enggak berubah, ya lambaikan tangan ke kamera, eh, ke produser.
Reporter harus bekerja di saat orang lain liburan. Kalau tempat kerjaku dulu, dalam lembar cuti tetap menulis selama cuti ada di daerah mana. Misalnya, di kampung halaman, atau di Maldives, jadi enggak boleh nulis “di hatimu” ya, hehe. Pernah tuh, jatah cutiku masih 2 hari, eh, ada telepon horor yang minta besok pagi wajib ke kantor dulu terus liputan di luar kota, huhuhu.
Reporter pun siap menerima kenyataan jika sudah jungkir balik liputan, malah enggak jadi tayang *injek-injek kamera kantor. Biasanya karena isi liputannya sudah basi, atau program acara sudah bye bye, atau emang sudah nasib, hiks.
Buat kamu yang pengin tahu sisi kelam reporter lainnya bisa baca buku Cenat-Cenut Reporter, hihihi. Oh ya, adakah yang pernah mengalami kejadian pahit lainnya? Bisa share di komentar, yes.
Reporter harus siap-siap cuma bisa negak ludah sepanjang liputan. Ada lho, narasumber yang peliiittt, sampai setetes air putih pun tidak mau dikeluarkan. Solusinya ya reporter harus jago pasang wajah dehidrasi berat. Kalau perlu, latihan akting di teater kampung sebelah dulu.
Reporter juga bersiap menunggu kedatangan narasumber sampai karatan. Jangan heran ya kalau kamu pernah ketemu reporter yang ada sarang laba-labanya di bodinya, saking lamanya menunggu narasumber, tuh. Habis gimana, bapak produser selalu berpesan, “Pantang pulang sebelum narasumber berbicara.” Lha kalau narasumbernya kayak L*mbad gimana? *buka kamus bahasa tubuh.
Reporter harus sabar menghadapi Si-No-Comment. Coba bayangkan, sudah lama menunggu, eh, giliran narasumbernya datang, malah menolak diwawancarai. Rasanya itu, sudah keluarin modal beliin tas branded, kasih sepatu limited edition, sampai rajin kirim boneka
Reporter harus bekerja di saat orang lain liburan. Kalau tempat kerjaku dulu, dalam lembar cuti tetap menulis selama cuti ada di daerah mana. Misalnya, di kampung halaman, atau di Maldives, jadi enggak boleh nulis “di hatimu” ya, hehe. Pernah tuh, jatah cutiku masih 2 hari, eh, ada telepon horor yang minta besok pagi wajib ke kantor dulu terus liputan di luar kota, huhuhu.
Reporter pun siap menerima kenyataan jika sudah jungkir balik liputan, malah enggak jadi tayang *injek-injek kamera kantor. Biasanya karena isi liputannya sudah basi, atau program acara sudah bye bye, atau emang sudah nasib, hiks.
Buat kamu yang pengin tahu sisi kelam reporter lainnya bisa baca buku Cenat-Cenut Reporter, hihihi. Oh ya, adakah yang pernah mengalami kejadian pahit lainnya? Bisa share di komentar, yes.