Hai… hai… si mantan reporter yang mengaku teladan ini hadir lagi. Semua berkat follower blog ini yang sudah tebar kemenyan buat penyambutan *mendadak buku ketek berdiri. Tahu dong, kalau kerjaan reporter itu seputar wawancara, bikin naskah, sampai kedip-kedip lenjeh ke narasumber cakep, tsah. Kali ini, ada 3 pesan buat reporter biar hasil kerjanya makin nendang!
Foto: Kalau kameraman lagi kerja a.k.a shoot narasumber, reporter bebas kipas-kipas di bibir pantai :P
Dilarang asal bikin naskah liputan, kecuali cuma ditayangkan di buku diary
Yang pernah ikut pelatihan jurnalistik atau mahasiswa Ilmu Komunikasi, pasti sudah karatan di otak kalau “Menulis jurnalistik harus berdasarkan fakta”. Yap, bener bingits, tuh.
Misalnya, si narasumber bilang pas di wawancara kalau hobinya itu otak-atik mesin, tapi kamu justru nulis di naskah bahwa hobinya otak-atik hati. Waduh! Itu fatal, lho. Entar penonton mengira si narasumber itu tukang reparasi hati, duh.
Kalimat narasi jangan sama dengan isi kalimat wawancara yang tayang, kecuali kamu cuma kasih satu pertanyaan pas liputan *digetok Produser.
Jadi gini, kalau kamu sudah pilih kalimat wawancara yang tayang seperti, “Tips sehat saya hanya ngulet (menggeliat-rep) setiap bangun tidur.”
Maka, di naskah kamu jangan mengulangi lalu menulis narasi dengan, “Ternyata, tips sehat ala A cuma ngulet!”
Itu artinya pengulangan fakta. Lebih baik, bikin narasi yang mengarahkan penonton biar kepo soal tips sehat dari narasumber. Contohnya, “Ternyata, si A punya tips yang sederhana dan konsisten.” Baru hasil wawancaranya tayang.
Paham?
*geleng-geleng.
*sihir reporter jadi mic.
Gaya bahasa narasi buat media cetak berbeda dengan media audio visual, kecuali kamu pengin dapat surat cinta pemecatan dari produser.
Asal kamu tahu, untuk menulis di media cetak itu pilih kata-kata yang pas buat dibaca. Sementara, di media audio visual pilih kata-kata yang enak didengar.
Kalau menurut mantan Bos saya dulu, salah satunya kata “bisa” daripada kata “dapat” lebih klop buat menulis naskah media audio visual. Caranya tahu kalimat kamu enak didengar atau tidak, ya baca kembali hasil tulisan keras-keras. Kalau kamu dengarnya kurang pas, berarti harus diedit lagi. Pokoknya, pantang pulang sebelum naskah kelar kalau perlu dapat voucher menginap di hotel abal-abal alias kantor *puk-puk reporter.
Kurang lebih itu yang pernah saya dapatkan selama menyelami kehidupan reporter buat acara berformat magazine yang tayang di televisi. Jadi, mungkin berbeda dengan divisi news, ya. Sementara itu dulu, ye. Nanti kalau tiba-tiba nemu koin emas biasanya jadi inget tips lain lagi, bakal saya share di mari.
Buat calon reporter biar tahu kehidupan reporter yang sesungguhnya, plus mempersiapkan batin menghadapi “kejutan” di lapangan, saya menyarankan baca buku Cenat-Cenut Reporter dulu. Ada sisi lain kehidupan mengenaskan seorang reporter, hiks. Hanya Rp31rb (di saya) atau Rp37rb (di toko buku). Hihihi.
Foto: Kalau kameraman lagi kerja a.k.a shoot narasumber, reporter bebas kipas-kipas di bibir pantai :P
Dilarang asal bikin naskah liputan, kecuali cuma ditayangkan di buku diary
Yang pernah ikut pelatihan jurnalistik atau mahasiswa Ilmu Komunikasi, pasti sudah karatan di otak kalau “Menulis jurnalistik harus berdasarkan fakta”. Yap, bener bingits, tuh.
Misalnya, si narasumber bilang pas di wawancara kalau hobinya itu otak-atik mesin, tapi kamu justru nulis di naskah bahwa hobinya otak-atik hati. Waduh! Itu fatal, lho. Entar penonton mengira si narasumber itu tukang reparasi hati, duh.
Kalimat narasi jangan sama dengan isi kalimat wawancara yang tayang, kecuali kamu cuma kasih satu pertanyaan pas liputan *digetok Produser.
Jadi gini, kalau kamu sudah pilih kalimat wawancara yang tayang seperti, “Tips sehat saya hanya ngulet (menggeliat-rep) setiap bangun tidur.”
Maka, di naskah kamu jangan mengulangi lalu menulis narasi dengan, “Ternyata, tips sehat ala A cuma ngulet!”
Itu artinya pengulangan fakta. Lebih baik, bikin narasi yang mengarahkan penonton biar kepo soal tips sehat dari narasumber. Contohnya, “Ternyata, si A punya tips yang sederhana dan konsisten.” Baru hasil wawancaranya tayang.
Paham?
*geleng-geleng.
*sihir reporter jadi mic.
Gaya bahasa narasi buat media cetak berbeda dengan media audio visual, kecuali kamu pengin dapat surat cinta pemecatan dari produser.
Asal kamu tahu, untuk menulis di media cetak itu pilih kata-kata yang pas buat dibaca. Sementara, di media audio visual pilih kata-kata yang enak didengar.
Kalau menurut mantan Bos saya dulu, salah satunya kata “bisa” daripada kata “dapat” lebih klop buat menulis naskah media audio visual. Caranya tahu kalimat kamu enak didengar atau tidak, ya baca kembali hasil tulisan keras-keras. Kalau kamu dengarnya kurang pas, berarti harus diedit lagi. Pokoknya, pantang pulang sebelum naskah kelar kalau perlu dapat voucher menginap di hotel abal-abal alias kantor *puk-puk reporter.
Kurang lebih itu yang pernah saya dapatkan selama menyelami kehidupan reporter buat acara berformat magazine yang tayang di televisi. Jadi, mungkin berbeda dengan divisi news, ya. Sementara itu dulu, ye. Nanti kalau tiba-tiba nemu koin emas biasanya jadi inget tips lain lagi, bakal saya share di mari.
Buat calon reporter biar tahu kehidupan reporter yang sesungguhnya, plus mempersiapkan batin menghadapi “kejutan” di lapangan, saya menyarankan baca buku Cenat-Cenut Reporter dulu. Ada sisi lain kehidupan mengenaskan seorang reporter, hiks. Hanya Rp31rb (di saya) atau Rp37rb (di toko buku). Hihihi.
apakah aturan ini juga bisa diterapkan saat membuat travel jurnal?
ReplyDeleteMakasih :-)
ReplyDeleteKalo ini, sy enggak bisa jawab :-) belum pernah.
ReplyDeleteKasih tahu enggak ya ^^
ReplyDeleteOh begini toh sisi lain para reporter itu.. baru tau. Nah buat para calon reporter simak baik2 yak, hehe.. makasih mba, nambah wawasan soal jurnalistik :-)
ReplyDeleteSama-sama :-)
ReplyDeletetrims sdh berbagi tips ini yaa… :)
ReplyDeleteHmmm… Jadi beda, ya, kata-kata yang enak dibaca dan enak didengar.
ReplyDeleteStok di rumah sy masih ada, yuk pesan, hehe, Rp 31rb + ongkir dari Semarang :-)
ReplyDeleteIyaaaa, itu yang pernah sy dapatkan selama kerja reporter :-)
ReplyDeletema-sama :-)
ReplyDeleteoh berarti nulis reportase di blog juga sama seperti itu kah?
ReplyDeleteKalo menurut sy, untuk blog lebih bebas sih, hehe
ReplyDeletewaktu belajar bikin skrip radio aku juga dikasih tahu sama penyiar senior, katanya bikin tulisan untuk didengar bukan dibaca, karena media kita radio
ReplyDeleteTingkyu, Mi
ReplyDeleteHaha… tukang repoter bahaya.. Nice kak wuri
ReplyDeleteQiqiqi, sip!
ReplyDelete