Haluuu ^^ Kali ini saya mau share tulisan pribadi yang pernah nongol di majalah Femina nomor 49 pas Desember 2013 lalu. Berjudul SI KURUS, tentu isinya seputar sepak terjang saya dengan label si-cewek-langsing *yang sirik dilarang protes! qiqiqi. Kali ini, saya kasih versi asli, belum diedit pihak Femina ye, monggo cekikikan membaca pengalaman pahit saya, hiks.
Foto: penampilan tulisan saya :)
SI KURUS
Banyak yang iri dengan saya. Walaupun saya sudah melahap makanan berpiring-piring, tetapi berat badan susah naik. Kawan-kawan sampai memberi label saya dengan sebutan “Si Kurus”.
Kebanyakan wanita sibuk dengan program diet. Mulai tidak makan malam, menolak nasi karena mengandung karbohidrat, atau minum susu pelangsing. Setiap wanita pasti ingin mencapai bodi ideal.
Bagi mereka, melahap secuil makanan akan menambahkan satu kilogram di tubuh. Sampai ada teman saya, sebut saja Asti yang berceletuk. “Mungkin kalau saya minum seteguk air putih saja, sudah menjadi lemak.” Kebetulan Asti memiliki tubuh overweight. Sebagai sahabat, saya merespon dengan menyunggingkan senyuman. Tanpa lupa memberi dukungan padanya, “Yang penting sehat.”
Terlahir dengan badan kurus, tidak lantas meraih pujian terus-menerus. Sesekali teman saya, anggap saja bernama Indra, acap kali menelurkan ledekan. “Kamu kurus banget ya. Mirip tengkorak berjalan. Awas kalau ada angin kencang lho, enggak takut terbang? Ha… ha… ha…” Tawanya kerap kali menggelegar. Tapi saya sudah tak pernah memasukkan kalimatnya ke dalam hati. Cukup memamerkan senyum.
Tinggi saya mencapai 168 sentimeter. Ketika masih berstatus pelajar, berat badan saya hanya 43 kilogram. Tubuh saya bagaikan sebatang lidi yang menjulang panjang. Terkesan rapuh. Terombang-ambing hanya karena desir angin. Mirip orang kurang gizi. Duh!
Dalam satu hari, saya bisa melahap berbagai makanan. Sarapan dengan nasi goreng dan telur mata sapi. Camilan pukul sembilan pagi dengan beragam gorengan di kantin. Menu makan siang adalah nasi putih, ayam goreng, dan sup sayur. Ketika sore menjelang, saya sanggup menandaskan semangkuk bakso. Pun malam menjelang, perut saya masih bernyanyi riang. Saya lekas menyantap pecel lele dengan nasi putih yang mengepul. Semua makanan itu masuk tanpa perlu risau akan berat badan. Karena angka di timbangan tidak akan naik.
Suatu siang, saya pulang dari sekolah dengan seragam putih abu-abu. Seperti biasa, saya menanti angkot yang membawa saya pulang sampai di depan kompleks rumah. Angkot berwarna merah itu terbilang jarang melewati depan sekolah. Kemungkinan karena jumlah kendaraannya yang tidak sebanyak angkot jurusan lainnya. Saya pun sudah terbiasa menanti kedatangan angkot melewati sekolah selama setengah jam. Apalagi, ketika angkot merah yang melewati sekolah sudah membawa penumpang yang banyak. Adegan duduk sempit sudah menjadi makanan sehari-hari saya.
Hari itu terbilang berbeda. Sudah setengah jam lebih tetapi angkot merah tidak kunjung datang. Keringat mengucur deras di dahi. Berkali-kali punggung tangan saya menyeka. Maklum, kota Surabaya memang terkenal dengan terik panasnya. Perut sudah mulai keroncongan. Berkali-kali saya melirik jam di tangan. Sempat terlintas mengambil angkot jurusan lain saja. Tapi itu artinya saya harus naik dua kali angkot dan menempuh waktu perjalanan jauh lebih lama.
Seketika mata saya berbinar-binar. Menarik dua sudut bibir. Menegakkan punggung yang tadi sempat melorot. Mobil merah berplat kuning itu perlahan-lahan mendekat. Bergegas menggoyangkan lengan kiri hingga supir berhenti tepat di hadapan saya.
Ketika kendaraan umum itu sudah di depan pelupuk mata saya, beberapa penumpang tampak memadati angkot. Dua orang menempati tempat di sebelah supir. Sederet tempat duduk di belakang supir sudah penuh dengan enam orang yang badannya terbilang besar. Sedangkan di seberangnya juga terdapat empat penumpang lain. Sementara bangku kecil yang menghadap ke belakang, hanya terisi satu orang. Tidak ada pilihan lain, saya duduk di pinggir pintu.
Dengan bertumpu pada jemari yang memegang erat pintu, angkot melaju cukup kencang. Anehnya, tidak lama angkot yang jelas-jelas sudah penuh itu menghentikan lajunya. Seorang calon penumpang sudah berdiri di luar. Wanita itu memiliki tubuh bongsor. Kepalanya celingak-celinguk. Matanya melongok ke dalam mencari celah dimana dia dapat duduk.
“Bangku panjang buat tujuh orang,” titah Pak Supir seraya melirik melalui kaca spion dalam.
Suasana menjadi riuh.
“Sudah penuh, Pak,” sahut salah satu penumpang yang paling pojok. Wajahnya bersungut.
Pak supir terpaksa menoleh. Dia turun tangan. Sejenak mengamati kondisi di dalam angkot. “Mbak kurus yang duduk di pinggir itu, pindah ke bangku panjang saja,” perintah seenaknya.
Deg! Semua pasang mata sontak menatap saya. Batin saya memberontak. Tidak rela nantinya duduk sempit hanya karena dalih saya kurus, yang kemungkinan membutuhkan lahan kecil untuk duduk. Saya memilih bergeming. Tidak mengindahkan saran Pak Supir.
“Yang duduk di bangku panjang geser. Geser! Buat Mbak Kurus duduk.” Nadanya mulai meninggi.
Wajah saya merengut. Mirip anak kecil yang tidak mendapatkan permen kesayangannya. Saya membuang pandangan ke luar angkot. Berharap ide gila Pak Supir batal.
Pak Supir bersikukuh, “Mbak SMA, pindah di sana tuh!” Suaranya lebih mirip perintah daripada permintaan.
Saya melihat bangku hitam itu sedikit tersingkap di antara paha dua orang dewasa. Berat hati saya menuruti permintaan Pak Supir. Saya mengisi sisa perjalanan ke rumah dengan tempat duduk setengah. Terpaksa tangan saya menahan di atas paha wanita di samping. Parahnya, saya tetap membayar penuh walaupun mendapatkan bangku setengah. Huh!
Siapa bilang memiliki tubuh kurus selalu enak? Apapun bentuk tubuh semua orang, pasti memiliki sisi positif dan negatif. Setidaknya memiliki tubuh sehat itu jauh lebih berharga.
Sebelumnya, tulisan saya pernah nongol di rubrik yang sama pas April 2014, tapi saya publish di blog komunitas BAW, bukan di blog ini. Intip saja di sini, ya.
Pengin tulisannya nongol di rubrik Gado-Gado? Coba ingat-ingat pengalaman Anda yang memalukan atau inspiratif. Tetapi, saya hanya pernah ngirim tentang yang kejadian malu-maluin, sih, bukan yang inspiratif, duh. Bikin tulisan maksimal 3 halaman folio (kalau di word, saya biasa pilih Legal), spasi 2, nama tokoh dan tempat boleh fiktif. Terus send email ke kontak@femina.co.id. Kalaupun mental a.k.a fail, sila telepon redaksinya ke 021-526 6666, atau 021-525 3816, or 021-520 9370. Tim redaksinya welkom kuk :) Met mencoba
Foto: penampilan tulisan saya :)
SI KURUS
Banyak yang iri dengan saya. Walaupun saya sudah melahap makanan berpiring-piring, tetapi berat badan susah naik. Kawan-kawan sampai memberi label saya dengan sebutan “Si Kurus”.
Kebanyakan wanita sibuk dengan program diet. Mulai tidak makan malam, menolak nasi karena mengandung karbohidrat, atau minum susu pelangsing. Setiap wanita pasti ingin mencapai bodi ideal.
Bagi mereka, melahap secuil makanan akan menambahkan satu kilogram di tubuh. Sampai ada teman saya, sebut saja Asti yang berceletuk. “Mungkin kalau saya minum seteguk air putih saja, sudah menjadi lemak.” Kebetulan Asti memiliki tubuh overweight. Sebagai sahabat, saya merespon dengan menyunggingkan senyuman. Tanpa lupa memberi dukungan padanya, “Yang penting sehat.”
Terlahir dengan badan kurus, tidak lantas meraih pujian terus-menerus. Sesekali teman saya, anggap saja bernama Indra, acap kali menelurkan ledekan. “Kamu kurus banget ya. Mirip tengkorak berjalan. Awas kalau ada angin kencang lho, enggak takut terbang? Ha… ha… ha…” Tawanya kerap kali menggelegar. Tapi saya sudah tak pernah memasukkan kalimatnya ke dalam hati. Cukup memamerkan senyum.
Tinggi saya mencapai 168 sentimeter. Ketika masih berstatus pelajar, berat badan saya hanya 43 kilogram. Tubuh saya bagaikan sebatang lidi yang menjulang panjang. Terkesan rapuh. Terombang-ambing hanya karena desir angin. Mirip orang kurang gizi. Duh!
Dalam satu hari, saya bisa melahap berbagai makanan. Sarapan dengan nasi goreng dan telur mata sapi. Camilan pukul sembilan pagi dengan beragam gorengan di kantin. Menu makan siang adalah nasi putih, ayam goreng, dan sup sayur. Ketika sore menjelang, saya sanggup menandaskan semangkuk bakso. Pun malam menjelang, perut saya masih bernyanyi riang. Saya lekas menyantap pecel lele dengan nasi putih yang mengepul. Semua makanan itu masuk tanpa perlu risau akan berat badan. Karena angka di timbangan tidak akan naik.
Suatu siang, saya pulang dari sekolah dengan seragam putih abu-abu. Seperti biasa, saya menanti angkot yang membawa saya pulang sampai di depan kompleks rumah. Angkot berwarna merah itu terbilang jarang melewati depan sekolah. Kemungkinan karena jumlah kendaraannya yang tidak sebanyak angkot jurusan lainnya. Saya pun sudah terbiasa menanti kedatangan angkot melewati sekolah selama setengah jam. Apalagi, ketika angkot merah yang melewati sekolah sudah membawa penumpang yang banyak. Adegan duduk sempit sudah menjadi makanan sehari-hari saya.
Hari itu terbilang berbeda. Sudah setengah jam lebih tetapi angkot merah tidak kunjung datang. Keringat mengucur deras di dahi. Berkali-kali punggung tangan saya menyeka. Maklum, kota Surabaya memang terkenal dengan terik panasnya. Perut sudah mulai keroncongan. Berkali-kali saya melirik jam di tangan. Sempat terlintas mengambil angkot jurusan lain saja. Tapi itu artinya saya harus naik dua kali angkot dan menempuh waktu perjalanan jauh lebih lama.
Seketika mata saya berbinar-binar. Menarik dua sudut bibir. Menegakkan punggung yang tadi sempat melorot. Mobil merah berplat kuning itu perlahan-lahan mendekat. Bergegas menggoyangkan lengan kiri hingga supir berhenti tepat di hadapan saya.
Ketika kendaraan umum itu sudah di depan pelupuk mata saya, beberapa penumpang tampak memadati angkot. Dua orang menempati tempat di sebelah supir. Sederet tempat duduk di belakang supir sudah penuh dengan enam orang yang badannya terbilang besar. Sedangkan di seberangnya juga terdapat empat penumpang lain. Sementara bangku kecil yang menghadap ke belakang, hanya terisi satu orang. Tidak ada pilihan lain, saya duduk di pinggir pintu.
Dengan bertumpu pada jemari yang memegang erat pintu, angkot melaju cukup kencang. Anehnya, tidak lama angkot yang jelas-jelas sudah penuh itu menghentikan lajunya. Seorang calon penumpang sudah berdiri di luar. Wanita itu memiliki tubuh bongsor. Kepalanya celingak-celinguk. Matanya melongok ke dalam mencari celah dimana dia dapat duduk.
“Bangku panjang buat tujuh orang,” titah Pak Supir seraya melirik melalui kaca spion dalam.
Suasana menjadi riuh.
“Sudah penuh, Pak,” sahut salah satu penumpang yang paling pojok. Wajahnya bersungut.
Pak supir terpaksa menoleh. Dia turun tangan. Sejenak mengamati kondisi di dalam angkot. “Mbak kurus yang duduk di pinggir itu, pindah ke bangku panjang saja,” perintah seenaknya.
Deg! Semua pasang mata sontak menatap saya. Batin saya memberontak. Tidak rela nantinya duduk sempit hanya karena dalih saya kurus, yang kemungkinan membutuhkan lahan kecil untuk duduk. Saya memilih bergeming. Tidak mengindahkan saran Pak Supir.
“Yang duduk di bangku panjang geser. Geser! Buat Mbak Kurus duduk.” Nadanya mulai meninggi.
Wajah saya merengut. Mirip anak kecil yang tidak mendapatkan permen kesayangannya. Saya membuang pandangan ke luar angkot. Berharap ide gila Pak Supir batal.
Pak Supir bersikukuh, “Mbak SMA, pindah di sana tuh!” Suaranya lebih mirip perintah daripada permintaan.
Saya melihat bangku hitam itu sedikit tersingkap di antara paha dua orang dewasa. Berat hati saya menuruti permintaan Pak Supir. Saya mengisi sisa perjalanan ke rumah dengan tempat duduk setengah. Terpaksa tangan saya menahan di atas paha wanita di samping. Parahnya, saya tetap membayar penuh walaupun mendapatkan bangku setengah. Huh!
Siapa bilang memiliki tubuh kurus selalu enak? Apapun bentuk tubuh semua orang, pasti memiliki sisi positif dan negatif. Setidaknya memiliki tubuh sehat itu jauh lebih berharga.
Sebelumnya, tulisan saya pernah nongol di rubrik yang sama pas April 2014, tapi saya publish di blog komunitas BAW, bukan di blog ini. Intip saja di sini, ya.
Pengin tulisannya nongol di rubrik Gado-Gado? Coba ingat-ingat pengalaman Anda yang memalukan atau inspiratif. Tetapi, saya hanya pernah ngirim tentang yang kejadian malu-maluin, sih, bukan yang inspiratif, duh. Bikin tulisan maksimal 3 halaman folio (kalau di word, saya biasa pilih Legal), spasi 2, nama tokoh dan tempat boleh fiktif. Terus send email ke kontak@femina.co.id. Kalaupun mental a.k.a fail, sila telepon redaksinya ke 021-526 6666, atau 021-525 3816, or 021-520 9370. Tim redaksinya welkom kuk :) Met mencoba
ahahaa...bersyukurlah aq bertubuh padat berisi, ndak pernah dapet jatah duduk setengah kayak situ muehehee...
ReplyDeleteSaya waktu SMA dulu juga kurus mbak, tapi gak pernah sesial dalam cerita ini :D
ReplyDeleteDuh ..... tapi lucu ya ....
Yang penting sehat .... itu saja :)
Senasip! Aku juga selalu dituduh diet, dll. Padahal dari sononya “langsing” :D
ReplyDelete*jitak Mak Uniek
ReplyDeleteDuh, keknya ceritaku sial banget yak, hihihi
ReplyDeleteHehehe. Aku biasanya docx
ReplyDeleteAsyiiik, ada temannya :-)
ReplyDeleteWkwkwkw
ReplyDeleteaku juga mb suka dikatain kurus kering lah kutilang lah…sampe ada yang ngledek jangan jalan depan anjing tar dikejar anjing (krn tulang semua ini bodi haha)…sekarang setelah menikah rada ada peningkatan haha
ReplyDeleteAsyik, ketemu yang pernah senasib :-)
ReplyDeleteaduuh kasian mba.. saya sangat mengidolakan dan pingin banget punya badan kurus karena selalu padat berisi.. tapi kalo ntar ngalamin kaya gitu, jadi gak mau ah.. hheeh.. *maaf mba, becanda.. salam kenal ya mba, menarik ceritanya :)
ReplyDeleteNahh mau dong kurus!
ReplyDeleteaku dulu kurus mbak, tapi sekarang huaaaa…jangan di tanya alias malu ngeliat timbangan, dilema…dulu kepengen gemuk sekarang udah punya anak 3 malah kepingin kurus.
ReplyDeleteSelamat pagi sahabat tercinta,
ReplyDeleteDengan gembira saya sampaikan bahwa Anda menjadi salah satu pemenang KUIS TEBAK NAMA MODEL di BlogCamp
Silakan cek pengumumannya di http://abdulcholik.com/2014/04/15/lebih-dekat-dengan-kaswarganti-catur-nugraheni-widadi/
Terima kasih
Salam hangat dari Surabaya
Wkwkwk, tuh kan, sehat is the best
ReplyDeleteBeneran? Nanti duduknya setengah loh, hihihi
ReplyDeleteQiqiqi, jangan2 besok aku juga kayal Mak :-)
ReplyDeletePagi yang ceraaah, yippy!
ReplyDeleteDulu, sekarang dan semoga gag selamanya saya kurus.
ReplyDeleteKarena kurus itu banyak yang ngomongin.. Hahaha
Salam..
Kudus? *typo 'kurus' ya mbak?
ReplyDeleteHehe
ReplyDeleteSaya malah pengen berat badan naik. Tapi segala upaya yang telah dilakukanmasih belum membuahkan hasil…
ReplyDeleteHehehe
ReplyDeletesaya kecil dan ga gemuk, gak kurus juga sih hihihi...Biasanya berapa lama ya Mak, antara kirim artikel dan dimuat? Boleh pengalaman atau cerita dari orang lain?
ReplyDelete@rizka: sy dulu sekitar 6 bulan.
ReplyDelete