Semenjak saya menelurkan buku Cenat-Cenut Reporter, beberapa pertanyaan mengalir kepada saya. Entah itu japri ke saya atau ketika acara bedah buku di radio (bisa baca dimari atau disitu). Kalau di buku tersebut saya mengupas kehidupan sengsara para reporter and the gank, tidak jarang mereka bertanya seputar lika-liku profesinya secara lebih luas. Hhhmmm tampaknya mereka pengin terjerumus lubang nista kehidupan broadcasting… kagak usah ajak-ajak akyu yak #PeringatanDini. Bahkan, seakan tidak kapok bercita-cita menjadi wartawan walaupun tuntas membaca kisah sedihku di buku selama menjadi jurnalis. Saluuuttt *kasih dua jempol kaki gajah.
Foto: peralatan perang berupa kamera, clip on (di dalam tas hitam kecil), dan senyum walo capek :-)
Yakin nih mau ketemu narasumber bertaring vampir?
Siap punya bos produser yang bernada ‘bariton-megaphone’?
Mau kerja bareng kameraman hobi bikin shoot nge-blur?
Tenang… pertahankan tekad kalian yak. Kalau enggak, narasumber bakal gagal narsis di tipi. Bisa juga, nanti bos tidak punya media pelampiasan emosi. Bahkan nama/wajah kalian batal nongol di tivi #Eh.
Sebenarnya, ada reporter berita, reporter features, atau reporter abal-abal. Kira-kira, saya masuk mantan reporter yang mana yak? *ngitung bulu mata. Berdasarkan takdir, saya paling lama menjabat reporter untuk acara yang bersifat features. Sehari-hari menyusun acara berdurasi 30 menit tentang kisah inspiratif, kuliner, sampai profil diri sendiri #Maksa. Nah, saya merangkum kurang lebih bagaimana jungkir baliknya reporter.
1.Passion
Setiap orang memiliki passion atau ketertarikan pada satu atau lebih bidang tertentu. Pastikan kalau reporter adalah passion Anda. Jangan gegara saya pernah mencicipi posisi reporter, Anda pengin mengikuti jejak saya ya *tiba-tiba perut terasa mual.
Kalau Anda merasa tersiksa dengan liputan, dateline yang bertubi-tubi, atau berat ketika menulis naskah, coba bertanya pada hati, “Apakah menikmati pekerjaan ini?” Bila jawabannya ‘iya’, maka welcome to the club. Andai jawaban Anda ‘tidak’, itu artinya jadi narasumber saja deh *sodorin surat pengunduran diri.
2.Mencari kontak narasumber
Usai memutuskan sebagai reporter, tugas pertama adalah mencari nomor telepon narasumber. Nah, saya pernah mendapatkan titah mencari kontak narasumber dari kalangan pesohor sampai yang sudah meninggal *tebar kemenyan.
Caranya?
-Hubungi melalui media sosialnya, umumnya mereka terbuka bila ada pihak yang hendak wawancara. Entah itu Anda akan mendapatkan nomor manajer atau nomor HP pribadi. Kecuali mereka lagi dikejar-kejar debt collector, biasanya sok sibuk, atau pura-pura sakit gigi jadi enggak bisa menjawab telepon.
-Cara kontak komunitas atau tempat pendidikan. Anda dapat menghubungi pihak sekolah bila narasumber masih berstatus pelajar. Bisa juga menghubungi kontak komunitas yang biasanya diikuti oleh narasumber. Kalau narasumbernya hobi bersembunyi di goa, pake telepon yang terbuat dari batu saja. "Ya, halo?"
-Dilarang keras pergi ke dukun yak. Mahal soalnya! #Loh.
3.Percaya diri
Ketika nomor narasumber sudah di tangan, langkah selanjutnya adalah meningkatkan tagihan telepon kantor. Berdasarkan pengalaman saya, banyak yang kurang percaya diri ketika wajib menghubungi narasumber untuk pertama kali. Umumnya reporter yang masih kinyis-kinyis atau anak-anak magang.
Alasannya…
“Kalau enggak mau diwawancara gimana?”
“Cara ngomongnya bagaimana ya?”
“Takut yang angkat anjing herdernya dulu.”
Hedeeehhh!!!
Anda harus percaya diri. Yakin dahulu kalau narasumber bakal bersedia. Kalau menolak, kasih ribuan rayuan. Katakan ada jaminan kalau wajahnya bakal masuk tipi, kamera akan mengikuti kegiatannya bak artis hollywood, atau bisa ketemu reporter kek saya *kedip-kedip kelilipan. Andai narasumber ngotot enggak mau diwawancara, baiklah, pamit baik-baik, tutup gagang teleponnya, dan… berteriaklah sepuas mungkin!
4.Supel
Seorang reporter wajib berlagak menjadi sosok supel. Walaupun Anda merasa tidak memiliki gen cerewet, terkadang kondisi memaksa Anda untuk menjelma menjadi seorang ceriwis. Coba bayangkan, narasumber adalah orang asing, dan Anda tiba-tiba datang ingin tanya ini-tanya itu. Tidak semua narasumber mau terbuka secepatnya. Kalau ketemu narasumber yang introvert gimana?
Perlu perlu adegan pendekatan ketika berhadapan dengan narasumber. Tapi engggak juga kayak mau mendekati gebetan lho. Sebelum sesi wawancara adalah momen tepat untuk lebih dekat dengan narasumber.
Misalnya: tanya soal aktifitas sekarang, pendapat dia mengenai pertumbuhan ekonomi (bila narasumbernya adalah ekonom), masih keturunan kesultanan atau enggak #hallah.
Tapi jangan bertanya, “Di rumah Bapak/Ibu ada tikusnya enggak?”
Grrr…
5.Menyelami naskah
Hubungi narasumber sudah, liputan narasumber sudah, selanjutnya adalah menyusun naskah. Kalau Anda lihat acara di tivi dan ada suara narasi, maka yang menyusun kalimat adalah si reporter. Sebelum menulis, bisa membaca naskah-naskah sebelumnya sebagai bahan referensi (asal jangan copy-paste terus cuma ganti nama narasumber). Ada tips dari bos yang masih melekat di benak saya, yaitu:
"Kalau sudah selesai, baca dan resapi kalimatnya. Kalau kamu membacanya sambil ngos-ngosan, maka potong kalimatnya. Baca tulisan seraya menjadi penonton televisi, kira-kira enak atau tidak didengar."
Kalau naskahnya enggak jadi-jadi, paling bos cuma potong gaji, rebes!
6.Melihat acara TV lain
Kalau hasil akhir liputan adalah acara televisi, ya perlu mengintip acara tivi yang sejenis sebagai bahan referensi. Lihat bagaimana pengambilan gambar, kalimat yang dipakai, baju narasumber #Eh. Kantor tempat saya bercokol dahulu, langganan tv kabel, jadi karyawannya (termasuk reporter) memiliki fasilitas bagaimana menghasilkan acara menjadi lebih menarik. Diharapkan semua tim memahami perkembangan acara tipi di dunia. Walaupun…. sebenarnya… sesungguhnya… saya lebih memilih channel H*O, F*X Movie, MG*M aka numpang nonton film bagus dan gratis *motto anak kos.
(Sssttt jangan ditiru ya, wahai calon reporter, kecuali enggak ketahuan sama bos *tos)
7.Keep in touch
Ketika hasil liputan akan tayang di televisi. Wajib menghubungi narasumber dahulu.
“Halooo besok wajahnya nemplok di tipi lho.”
Biar narasumber, bapaknya, ibunya, kakakknya, adiknya, asisten rumah tangganya, tikusnya… pokoke semua pada nonton.
Sesudah itu, tetap menjaga hubungan baik dengan narasumber. Bisa jadi, suatu hari bos menyuruh Anda menghubungi narasumber itu lagi, atau butuh kontak seseorang yang kebetulan teman SD-nya narasumber, atau… dapat jodoh hihihi #PengalamanPribadi.
Bagi yang pengin tahu kehidupan apes reporter, sila bawa buku Cenat-Cenut Reporter ke kasir toko buku ya. Jangan nyasar di toko bangunan, kagak ada. Dan, semoga bermanfaat tips dari sang mantan reporter teladan ini *tsaaahhh.
Foto: cover buku Cenat-Cenut Reporter
Foto: peralatan perang berupa kamera, clip on (di dalam tas hitam kecil), dan senyum walo capek :-)
Yakin nih mau ketemu narasumber bertaring vampir?
Siap punya bos produser yang bernada ‘bariton-megaphone’?
Mau kerja bareng kameraman hobi bikin shoot nge-blur?
Tenang… pertahankan tekad kalian yak. Kalau enggak, narasumber bakal gagal narsis di tipi. Bisa juga, nanti bos tidak punya media pelampiasan emosi. Bahkan nama/wajah kalian batal nongol di tivi #Eh.
Sebenarnya, ada reporter berita, reporter features, atau reporter abal-abal. Kira-kira, saya masuk mantan reporter yang mana yak? *ngitung bulu mata. Berdasarkan takdir, saya paling lama menjabat reporter untuk acara yang bersifat features. Sehari-hari menyusun acara berdurasi 30 menit tentang kisah inspiratif, kuliner, sampai profil diri sendiri #Maksa. Nah, saya merangkum kurang lebih bagaimana jungkir baliknya reporter.
1.Passion
Setiap orang memiliki passion atau ketertarikan pada satu atau lebih bidang tertentu. Pastikan kalau reporter adalah passion Anda. Jangan gegara saya pernah mencicipi posisi reporter, Anda pengin mengikuti jejak saya ya *tiba-tiba perut terasa mual.
Kalau Anda merasa tersiksa dengan liputan, dateline yang bertubi-tubi, atau berat ketika menulis naskah, coba bertanya pada hati, “Apakah menikmati pekerjaan ini?” Bila jawabannya ‘iya’, maka welcome to the club. Andai jawaban Anda ‘tidak’, itu artinya jadi narasumber saja deh *sodorin surat pengunduran diri.
2.Mencari kontak narasumber
Usai memutuskan sebagai reporter, tugas pertama adalah mencari nomor telepon narasumber. Nah, saya pernah mendapatkan titah mencari kontak narasumber dari kalangan pesohor sampai yang sudah meninggal *tebar kemenyan.
Caranya?
-Hubungi melalui media sosialnya, umumnya mereka terbuka bila ada pihak yang hendak wawancara. Entah itu Anda akan mendapatkan nomor manajer atau nomor HP pribadi. Kecuali mereka lagi dikejar-kejar debt collector, biasanya sok sibuk, atau pura-pura sakit gigi jadi enggak bisa menjawab telepon.
-Cara kontak komunitas atau tempat pendidikan. Anda dapat menghubungi pihak sekolah bila narasumber masih berstatus pelajar. Bisa juga menghubungi kontak komunitas yang biasanya diikuti oleh narasumber. Kalau narasumbernya hobi bersembunyi di goa, pake telepon yang terbuat dari batu saja. "Ya, halo?"
-Dilarang keras pergi ke dukun yak. Mahal soalnya! #Loh.
3.Percaya diri
Ketika nomor narasumber sudah di tangan, langkah selanjutnya adalah meningkatkan tagihan telepon kantor. Berdasarkan pengalaman saya, banyak yang kurang percaya diri ketika wajib menghubungi narasumber untuk pertama kali. Umumnya reporter yang masih kinyis-kinyis atau anak-anak magang.
Alasannya…
“Kalau enggak mau diwawancara gimana?”
“Cara ngomongnya bagaimana ya?”
“Takut yang angkat anjing herdernya dulu.”
Hedeeehhh!!!
Anda harus percaya diri. Yakin dahulu kalau narasumber bakal bersedia. Kalau menolak, kasih ribuan rayuan. Katakan ada jaminan kalau wajahnya bakal masuk tipi, kamera akan mengikuti kegiatannya bak artis hollywood, atau bisa ketemu reporter kek saya *kedip-kedip kelilipan. Andai narasumber ngotot enggak mau diwawancara, baiklah, pamit baik-baik, tutup gagang teleponnya, dan… berteriaklah sepuas mungkin!
4.Supel
Seorang reporter wajib berlagak menjadi sosok supel. Walaupun Anda merasa tidak memiliki gen cerewet, terkadang kondisi memaksa Anda untuk menjelma menjadi seorang ceriwis. Coba bayangkan, narasumber adalah orang asing, dan Anda tiba-tiba datang ingin tanya ini-tanya itu. Tidak semua narasumber mau terbuka secepatnya. Kalau ketemu narasumber yang introvert gimana?
Perlu perlu adegan pendekatan ketika berhadapan dengan narasumber. Tapi engggak juga kayak mau mendekati gebetan lho. Sebelum sesi wawancara adalah momen tepat untuk lebih dekat dengan narasumber.
Misalnya: tanya soal aktifitas sekarang, pendapat dia mengenai pertumbuhan ekonomi (bila narasumbernya adalah ekonom), masih keturunan kesultanan atau enggak #hallah.
Tapi jangan bertanya, “Di rumah Bapak/Ibu ada tikusnya enggak?”
Grrr…
5.Menyelami naskah
Hubungi narasumber sudah, liputan narasumber sudah, selanjutnya adalah menyusun naskah. Kalau Anda lihat acara di tivi dan ada suara narasi, maka yang menyusun kalimat adalah si reporter. Sebelum menulis, bisa membaca naskah-naskah sebelumnya sebagai bahan referensi (asal jangan copy-paste terus cuma ganti nama narasumber). Ada tips dari bos yang masih melekat di benak saya, yaitu:
"Kalau sudah selesai, baca dan resapi kalimatnya. Kalau kamu membacanya sambil ngos-ngosan, maka potong kalimatnya. Baca tulisan seraya menjadi penonton televisi, kira-kira enak atau tidak didengar."
Kalau naskahnya enggak jadi-jadi, paling bos cuma potong gaji, rebes!
6.Melihat acara TV lain
Kalau hasil akhir liputan adalah acara televisi, ya perlu mengintip acara tivi yang sejenis sebagai bahan referensi. Lihat bagaimana pengambilan gambar, kalimat yang dipakai, baju narasumber #Eh. Kantor tempat saya bercokol dahulu, langganan tv kabel, jadi karyawannya (termasuk reporter) memiliki fasilitas bagaimana menghasilkan acara menjadi lebih menarik. Diharapkan semua tim memahami perkembangan acara tipi di dunia. Walaupun…. sebenarnya… sesungguhnya… saya lebih memilih channel H*O, F*X Movie, MG*M aka numpang nonton film bagus dan gratis *motto anak kos.
(Sssttt jangan ditiru ya, wahai calon reporter, kecuali enggak ketahuan sama bos *tos)
7.Keep in touch
Ketika hasil liputan akan tayang di televisi. Wajib menghubungi narasumber dahulu.
“Halooo besok wajahnya nemplok di tipi lho.”
Biar narasumber, bapaknya, ibunya, kakakknya, adiknya, asisten rumah tangganya, tikusnya… pokoke semua pada nonton.
Sesudah itu, tetap menjaga hubungan baik dengan narasumber. Bisa jadi, suatu hari bos menyuruh Anda menghubungi narasumber itu lagi, atau butuh kontak seseorang yang kebetulan teman SD-nya narasumber, atau… dapat jodoh hihihi #PengalamanPribadi.
Bagi yang pengin tahu kehidupan apes reporter, sila bawa buku Cenat-Cenut Reporter ke kasir toko buku ya. Jangan nyasar di toko bangunan, kagak ada. Dan, semoga bermanfaat tips dari sang mantan reporter teladan ini *tsaaahhh.
Foto: cover buku Cenat-Cenut Reporter
hahaha seru ya mbak wuri, gak kebayang dapat narsum bersuara bariton megaphone
ReplyDeletecool...
ReplyDeletepresenter sepakbola cakep-cakep dan cerdas-cerdas lhooo...
:)
makanya coba dulu jadi reporter :-)
ReplyDeletesama-sama
ReplyDeleteSaya pengen mencoba jadi reporter, kalau gak ada background di bidang itu masih bisa mbak? :D , apalagi reporter jalan " atau kuliner tuh mantep kayanya hehehe
ReplyDeleteSaya maunya jadi narasumber ehehehe... ee.. tapi ada jg reporter yg nyebelin. Udah wawancara sejam, hasil wawancaranya gak dimuat. Hfff
ReplyDeletebisa, beberapa temanku juga bukan alumni komunikasi kok
ReplyDeleteeh, aku pernah jadi reporter seperti itu. mau tahu respon narasumber-nya? ada di buku Cenat-Cenut Reporter hahaha #TetepPromo
ReplyDeletehahhahaa siip... ada tikusnya apa nggak?? (nggeblak)
ReplyDelete*kejengkang :D
ReplyDeleteseru banget ya mbak> daridulu aku kepengen juga jadi reporter, sayang belum kesampean juga hiks.... :(
ReplyDeleteyang lebih penting adalah enjoy dengan pilihan sekarang :-)
ReplyDeletesalut mbak :)
ReplyDeletehalah, masih banyak di luar sana yang lebih pantas di-salut-i :-)
ReplyDeleteWuiih keren nieh, kayaknya aku juga punya passion nieh kak, mulai cari stasiun tipi.
ReplyDelete*mana mana?
sip, jangan nyasar stasiun kereta api yak :)
ReplyDeletesudah resign ^^
ReplyDeletethanks you some
ReplyDeletemaaf Mbak, menyambung yg di atas.
ReplyDeletekata Mbak, ''kita bisa jadi Reporter walaupun tidak dari alumni komunikasi''???
memangnya kalo abis lulus dari SMA bisa??
terus, kriteria jadi reporter yg tidak dari alumni komunikasi itu bagaimana saja Mbak??
Hhhmmm... setahuku jadi reporter minimal S1 atau D3.
ReplyDeleteKriterianya apa ya? *mikir sok serius, hihihi, mungkin minimal tahu dulu gimana pekerjaan reporter itu.
tapi sekarang banyak yang hanya smp aja bisa jadi wartawan,
ReplyDeleteOh ya? saya belum pernah bertemu sih ^^, bagus kalo gitu *sip.
ReplyDeleteSebenarnya jurusan apa saja bisa, tetapi lebih baik Ilmu Komunikasi :)
ReplyDeleteBisa googling daftar rumah produksi lalu kirim CV. Tidak harus punya relasi kok :-)
ReplyDeletedr stasun tv mana si
ReplyDeletePH, kakak :-) bukan stasiun tv
ReplyDeletekk,aku pingin bgt jdi reporter,tp aku org nya gk percaya dri bgt .. ngomong aja susah kalo gk ada bhn ..
ReplyDeletekk,kalau jdi reporter hrs menguasai bhs inggris ya ??
ReplyDeleteGpp, selama kamu mau dan siap belajar. Nanti lama-lama pedenya muncul :-) oke yaaa
ReplyDeleteEnggak harus, tapi sangat dianjurkan sih, cemunguuud ya
ReplyDeleteAssalamualaikum ,,
ReplyDeletembak,
apakah menjadi reporter itu harus bependidikan tinggi terlebih dahulu ..??
Beberapa minta minimal S1 atau D3. Tapi ada juga yang tidak kok.
ReplyDeleteKayaknya saya punya passion reporter nih. Asyik. Tapi saya takut tikus mbak, gimana dong? *galau
ReplyDeleteseru…!! makaseh yah tips nya. kebetulan sekarang sy gabung di tv lokal (tv keluarga, hehehe ) saya marketing tapi disuruh jd presenter pegang 1 program, tp ko kayanya ga asek yah, paling temenannya sama kru program ajah, enakan jd reporter lapangan, seru, temen2nya juga asiik-asiik!! dulu suka ngeMC tapi dah lama banget, makanya tulisannya berarti banget …makaseh yah,,,,
ReplyDeleteeh, iya , sumpah foto lagi nenteng kamera itu, adalah pose paling keren itu juga buat yg pengen jd wartawan seh…hehehehe….. thanks yah..kapan-kapan maen ke sini…liat studio mini kita….
keren.
ReplyDeletembakkkk bukunya masih ada gak ya? pengen banget baca :)
ReplyDelete@Mutia: masih ada, bisa pesan di sy langsung
ReplyDeletembak wuri bisa minta cp nya?? saya ingin berdiskusi sm mbak.. no saya 085640062509
ReplyDelete@jole: bisa via email atau inbox fb, ya, trims
ReplyDeleteKlo jadi reporter itu kan harus sigap ya mba, trus harus jejel2an gtu sama reporter yang lain haha
ReplyDeleteWahhhh, Tipsnya asik banget bacanya. selama ini selalu mikir gimana reporter dapat nara sumber dan ternyata.... gitu caranya. Sippp jadi masukan. Aku selama ini masih sekedar citizen journalis. cari berita travelling atau kuliner yang ringan ringan karena memang disitu passionnya.
ReplyDeleteKak wuri emailnya apa?? Pengen banget diskusi sma kakak masalah ini... Pengen banget jadi reporter😂😂😂
ReplyDeletewuri.nugraeni@gmail.com
DeleteKak wuri emailnya apa ya? Pengen banget diskusi sma kakak masalah ini... Udah lama banget pengen jdi reporter cuma blm kesampaian😩
ReplyDelete